2025/04/21

Cerita 4: "Langkah Sunyi Pak Guru Dani"

Dani baru dua bulan menjadi guru honorer di SD terpencil di lereng Gunung Arjuno. Ia dikenal sabar, lembut, dan sangat mencintai anak-anak. Tapi ada satu hal yang belum ia pahami: tradisi Bantengan.

Suatu sore, warga mengundangnya menonton pertunjukan Bantengan di pelataran balai desa. Dani ikut, walau dengan rasa penasaran dan sedikit bingung.


Irama kendang mulai mengalun. Penari muncul satu per satu, memakai topeng banteng besar. Gamelan mengiringi, dan suasana perlahan berubah khidmat.


Tiba-tiba, seorang anak muridnya, Gibran, maju ke tengah. Anak itu sering diam dan pemalu di kelas. Tapi kini, ia menari dengan lincah, menirukan gerakan banteng. Tak ada rasa takut di wajahnya.


Dani tertegun. Inilah Gibran yang lain—bebas, penuh semangat, dan menyatu dengan irama desa. Setelah pertunjukan, Dani menghampiri Gibran dan ibunya.


“Dia memang suka Bantengan, Pak. Kalau dengar suara kendang, langsung semangat,” ujar ibunya sambil tersenyum.


Dani tersadar, ada hal-hal yang tak diajarkan di kelas tapi diajarkan oleh budaya. Sejak hari itu, ia mulai memasukkan unsur budaya lokal dalam pelajaran—menggambar banteng, mengenal alat gamelan, hingga menceritakan makna kesenian itu.


Pesan Moral:

Tradisi bukan hanya warisan, tapi jembatan yang menyentuh hati dan membentuk karakter. Kadang, di balik topeng banteng, tersembunyi semangat anak-anak yang sedang mencari jati diri.





Postingan Terkait