Cerita 29: "Dompet yang Membawa Azab"
Surya bukan warga desa. Ia datang ke pertunjukan Bantengan malam itu dengan satu tujuan: mencari mangsa. Ribuan orang berkumpul, suara gamelan menggema, konsentrasi orang-orang terpecah—momen sempurna baginya untuk beraksi.
Dengan lihai, ia menyelinap di antara penonton. Satu dompet, dua dompet, dengan cepat berpindah ke dalam tas kecil yang disembunyikannya di balik jaket. Namun saat hendak mengambil dompet ketiga dari seorang bapak tua, terjadi sesuatu yang aneh.
Pemain Bantengan yang sedang dalam kondisi trance, tiba-tiba menghentikan gerakan dan menatap lurus ke arah Surya. Mata si pemain merah menyala. Ia meraung keras dan bergerak cepat menyeruduk ke kerumunan.
Orang-orang berteriak dan berhamburan. Tapi yang diseruduk justru Surya—keras, hingga ia terguling. Dompet-dompet curian jatuh berserakan. Ia pingsan di tempat.
Ketika sadar, ia sudah berada di pos ronda desa. Di hadapannya duduk bapak tua yang dompetnya nyaris dicuri. Tapi tak ada kemarahan. Yang ada justru senyum simpati. “Mungkin ini pertanda kamu masih bisa berubah,” kata bapak itu lembut.
Surya menangis. Malam itu, ia merasa dihantam bukan oleh pemain Bantengan, tapi oleh kesadarannya sendiri. Ia mengembalikan semua barang curian, lalu bersujud minta maaf. Sejak itu, Surya tak pernah lagi mencopet. Ia mulai bekerja sebagai buruh bangunan, lalu ikut bersih-bersih desa saat pertunjukan Bantengan berikutnya.
Pesan Moral:
Kejahatan bisa memberi kesenangan sesaat, tapi nurani yang terusik akan mengguncang lebih hebat. Setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua.