Jejak Kaki, Sorak, dan Sunyi: Gajayana sebagai Ingatan Kolektif
Malang - Disebuah sore yang disiapkan dengan kesabaran sejarah, Kota Malang kembali membuka lembar ingatannya. Bukan dengan gegap gempita, melainkan lewat buku—medium sunyi yang selalu setia menyimpan jejak zaman. Launching dan Bedah Buku “Spektrum Kota Malang 2: 1 Abad Stadion Gajayana” (19/12) hadir sebagai peristiwa kultural, tempat ingatan, ruang, dan manusia saling menyapa tanpa perlu suara keras.
Stadion Gajayana, dalam buku ini, tidak diletakkan sebagai bangunan beku dari beton dan besi. Ia dihadirkan sebagai tubuh kota yang bernapas: menyimpan jejak langkah, sorak kemenangan, dan jeda-jeda sunyi setelah pertandingan usai. Satu abad usia Gajayana bukan sekadar hitungan waktu, melainkan perjalanan makna—dari arena raga menjadi ruang rasa. Buku ini mengajak pembaca berjalan perlahan di lorong waktu itu, dengan bahasa yang jernih dan reflektif.
Acara yang digelar di Grand Mercure Hotel Malang tersebut terasa seperti meja panjang tempat banyak pikiran duduk setara. Wakil Wali Kota Malang, Ali Muthohirin, dan pegiat budaya, penerbit, kurator seni, hingga para penulis saling berbagi sudut pandang.
Di antara 40 penulis yang terlibat dalam buku monumental ini, hadir pula Engelbertus Kukuh Widijatmoko—yang akrab dikenal sebagai dosenblankon. Kontribusinya menambah lapisan refleksi, mempertemukan ketelitian akademik dengan kepekaan kultural, sehingga narasi stadion tidak hanya dibaca sebagai sejarah fisik, tetapi juga sebagai ruang sosial yang membentuk identitas warga.
Diskusi mengalir ringan, namun berisi. Seperti obrolan sore di beranda, topik berpindah dari arsip ke ingatan personal, dari data ke rasa. Buku ini pun tidak datang sendirian. Ia disandingkan dengan saputangan batik handmade, seolah menegaskan bahwa ingatan kota tak hanya bisa dibaca, tetapi juga disentuh—dilipat, dibawa pulang, dan dijaga.
Lebih dari sekadar peluncuran buku, peristiwa ini adalah ajakan halus untuk kembali memandang kota dengan kesadaran baru. Bahwa stadion bukan hanya tempat bertanding, melainkan simpul kebersamaan. Bahwa sejarah bukan benda mati di rak, melainkan denyut yang terus hidup selama ada yang mau merawatnya.
Seperti pitutur Jawa yang lirih namun dalam, alon-alon waton kelakon. Buku ini mengajak kita memperlambat langkah, meneguk ingatan, lalu melanjutkan perjalanan—dengan kesadaran bahwa Kota Malang, melalui Gajayana, sedang menulis dan membaca dirinya sendiri, dari generasi ke generasi.



