2025/05/02

Cerpen : Sang Pemimpin Kecil

Di sebuah desa kecil bernama Sukamaju, tinggal seorang anak bernama Arka. Arka duduk di kelas 5 SD dan dikenal sebagai anak yang cerdas serta penuh rasa ingin tahu. Suatu hari, Bu Rini, guru kelasnya, mengumumkan bahwa akan diadakan pemilihan ketua kelas yang baru.



Oleh: Afifah Putri Kusuma Dewi, Pegiat Literasi

(Perserta Workshop Civic Short Story, SMAN 6 Malang) 

"Anak-anak, minggu depan kita akan memilih ketua kelas yang baru. Siapkan diri kalian, dan pikirkan siapa yang layak memimpin," kata Bu Rini dengan senyum.

Arka merasa tertantang. Ia ingin mencoba menjadi ketua kelas, tetapi ia juga tahu bahwa temannya, Andi, adalah kandidat kuat karena sudah dua kali menjabat.

Sepulang sekolah, Arka menceritakan hal ini kepada ayahnya.

"Ayah, aku ingin jadi ketua kelas. Tapi Andi pasti terpilih lagi," keluh Arka.

Ayahnya tersenyum, "Nak, menjadi pemimpin bukan soal seberapa sering kamu menjabat, tapi seberapa besar kamu bisa dipercaya dan membawa perubahan. Coba pikirkan, apa yang bisa kamu tawarkan kepada teman-temanmu?"

Arka merenung. Malam itu, ia membuat daftar ide untuk membuat kelasnya lebih nyaman dan menyenangkan. Ia ingin mengadakan pojok baca, jadwal piket yang adil, dan sesi diskusi mingguan untuk mendengar pendapat semua teman.

Hari pemilihan pun tiba. Bu Rini memberikan waktu kepada setiap kandidat untuk menyampaikan visi misinya. Andi berbicara dengan percaya diri tentang pengalamannya. Ketika giliran Arka, ia maju dengan tenang.

"Teman-teman, jika aku terpilih, aku ingin kita bisa membuat kelas ini menjadi tempat yang lebih nyaman untuk belajar dan berbagi. Aku tidak akan membuat keputusan sendiri. Kita akan diskusi bersama, supaya semua suara bisa terdengar. Kita bentuk kelompok kecil untuk menyampaikan saran, dan tiap Jumat sore, kita bisa bahas bersama. Karena menurutku, pemimpin yang baik itu bukan yang paling keras suaranya, tapi yang paling banyak mendengarkan.”

Suasana kelas hening. Beberapa anak saling pandang, terkesan dengan apa yang disampaikan Arka. Setelah semua kandidat berbicara, anak-anak pun memilih. Dengan sistem pemungutan suara sederhana, satu per satu kertas suara dikumpulkan dan dihitung oleh Bu Rini.

"Baik, anak-anak. Setelah dihitung, ketua kelas terpilih untuk semester ini adalah... Arka!" ucap Bu Rini dengan suara lantang.

Seluruh kelas bersorak, sementara Arka terpaku di tempat duduknya. Ia menang! Andi menyalaminya dengan senyum tulus.

"Selamat,Ar kamu pantas mendapatkannya," kata Andi sambil menepuk bahunya.

"Terima kasih, Di. Aku harap kamu tetap mau bantu aku ya," balas Arka.

Hari-hari sebagai ketua kelas dimulai. Arka langsung mengadakan pertemuan kecil setiap minggu, mendengarkan ide dan keluhan teman-temannya. Ia mengatur jadwal piket dengan adil, dan bahkan membuat kotak saran dari kardus bekas di pojok kelas. Namun, tak semuanya berjalan mulus. Beberapa teman merasa Arka terlalu serius, dan ada yang mulai bosan ikut diskusi setiap Jumat.

Suatu hari, Rina, teman sekelas Arka, mengeluh, “Ar, kok setiap minggu harus rapat sih? Kayak orang dewasa aja. Kita kan masih anak-anak.”

Arka mengangguk. "Aku ngerti, Rin. Tapi aku juga pengen tahu gimana caranya bikin kelas ini nyaman buat semua. Kalau kalian punya ide lain, ayo kita ubah bareng."

Dari situ, Arka mulai lebih fleksibel. Ia membuat sistem bergilir setiap minggu hanya satu kelompok yang diskusi dan menyampaikan hasilnya ke seluruh kelas. Perubahan itu diterima baik. Anak-anak merasa lebih santai, tapi tetap punya ruang untuk menyampaikan pendapat.

Beberapa bulan berlalu, kelas Arka menjadi kelas yang paling kompak di sekolah. Bahkan kepala sekolah memuji mereka saat kunjungan mendadak.

"Kelas ini punya sistem diskusi yang luar biasa. Kalian belajar berdemokrasi sejak dini," ujar Kepala Sekolah sambil tersenyum.

Arka hanya tersenyum kecil, bangga. Ia tahu, menjadi pemimpin bukan hanya soal membuat keputusan, tapi bagaimana ia membuat semua merasa terlibat.

Pelajaran penting yang ia pelajari adalah bahwa demokrasi bukan sekadar pemilihan, tapi tentang mendengarkan, musyawarah, dan bijaksana dalam setiap keputusan.

Dan di situlah, di tengah kelas kecil yang penuh semangat, nilai sila keempat Pancasila tumbuh dan hidup di tangan seorang pemimpin kecil bernama Arka.

Hari-hari berlalu, dan peran Arka sebagai ketua kelas makin terasa. Ia bukan hanya mengatur dan memimpin, tapi juga belajar dari setiap kejadian di kelasnya. Ia belajar bahwa menjadi pemimpin bukan berarti tahu segalanya, melainkan bersedia belajar dari siapa saja.

Suatu ketika, terjadi masalah di kelas. Dua teman Arka, Edo dan Rafi, berselisih soal giliran menjaga kebersihan papan tulis. Keduanya saling menyalahkan dan enggan berbicara satu sama lain.

Bu Rini memanggil Arka setelah pelajaran usai. "Arka, aku ingin kamu membantu menyelesaikan masalah ini. Kadang, teman lebih mudah bicara dengan teman."

Arka mengangguk. Ia kemudian mengajak Edo dan Rafi duduk bersama di bangku paling belakang. Suasana canggung menyelimuti mereka. Tapi Arka membuka pembicaraan dengan hati-hati.

“Edo, Rafi… aku ngerti kalian lagi kesal. Tapi kita satu kelas. Kita harus bisa nyelesaiin masalah tanpa saling marah. Coba kalian ceritakan dari awal, satu per satu. Aku akan dengar tanpa memotong, ya?”

  Edo pun mulai bicara, diikuti Rafi. Setelah keduanya mengungkapkan pendapat, Arka membantu mereka mencari titik temu. Akhirnya, mereka sepakat membuat catatan tertulis jadwal piket yang bisa dicek bersama.

Setelah insiden itu, Arka mendapat julukan “penengah kelas.” Ia tak hanya menjadi ketua, tapi juga jembatan antara teman-teman yang berbeda pendapat. Ia mulai memperhatikan bahwa setiap anak punya cara sendiri dalam berpendapat dan menyampaikan perasaan.

Suatu hari, Bu Rini memberikan tugas kelompok besar: membuat presentasi tentang nilai-nilai Pancasila. Arka langsung semangat, karena ia merasa nilai-nilai itu hidup di kesehariannya sebagai ketua kelas. Tapi, tantangannya adalah membagi tugas secara adil.

“Teman-teman,” kata Arka saat rapat kelompok, “aku tahu kadang kita nggak suka tugas kelompok karena ada yang kerja keras, ada yang santai aja. Gimana kalau kita buat daftar tugas, dan setiap orang pilih bagian yang paling mereka suka atau bisa?”

Anak-anak menyambut ide itu. Arka membuat tabel pembagian tugas, dan dalam waktu tiga hari, mereka berhasil menyusun presentasi dengan lancar. Hari penampilan pun tiba.

     Di depan kelas lain dan guru-guru, kelompok Arka mempresentasikan nilai-nilai Pancasila. Ketika giliran sila keempat, Arka maju ke depan dan berkata,

“Sila keempat mengajarkan kita untuk bermusyawarah. Di kelas kami, setiap Jumat ada sesi diskusi. Kami tahu suara kami penting, dan kami belajar untuk saling dengar. Demokrasi itu bukan cuma memilih, tapi juga menghargai semua suara.”

           Tepuk tangan pun menggema di ruangan. Arka merasa bangga bukan karena dirinya dipuji, tapi karena teman-temannya pun merasa dilibatkan dan dihargai.

         Namun, perjalanan Arka sebagai pemimpin belum selesai. Saat mendekati ujian akhir semester, suasana kelas berubah. Banyak yang stres dan jadi lebih mudah marah. Bahkan beberapa teman mulai jarang ikut diskusi.

         Arka merasa khawatir. Ia tak ingin memaksakan diskusi saat teman-temannya sedang lelah. Maka ia menemui Bu Rini dan bertanya, “Bu, apakah aku boleh mengganti format diskusi jadi sesi santai, seperti sharing atau bermain tebak-tebakan?”

Bu Rini tersenyum. “Boleh, Arka. Itu justru bentuk kepemimpinan yang baik—menyesuaikan diri dengan situasi.”

         Arka pun menyusun rencana. Setiap Jumat, mereka tetap berkumpul, tapi kali ini untuk saling cerita soal apa yang membuat mereka stres, atau sekadar bermain kuis ringan. Perlahan, suasana kembali mencair. Teman-temannya merasa didukung, bukan dituntut.

          Akhir semester pun tiba. Di hari terakhir sekolah sebelum liburan, Bu Rini mengumumkan akan memberikan penghargaan khusus untuk siswa yang menunjukkan kepemimpinan dan semangat gotong royong.

“Penghargaan ini diberikan kepada seseorang yang tidak hanya menjadi ketua kelas, tapi juga sahabat, penengah, dan teladan dalam demokrasi kecil di kelas kita,” ujar Bu Rini.

Semua mata tertuju pada Arka. Ketika namanya disebut, ia hanya tersenyum kecil, sedikit malu.

“Ini bukan karena aku hebat,” katanya saat maju menerima penghargaan. “Tapi karena kalian semua memberi aku kesempatan, dan karena aku belajar dari kalian setiap hari.”

            Liburan tiba, dan Arka membawa pulang penghargaan itu dengan hati hangat. Ia menggantungkan piagam kecil itu di dinding kamarnya, di samping daftar ide yang dulu ia buat malam sebelum pemilihan.

Ayahnya menepuk bahunya. “Ayah bangga padamu, Nak. Tapi yang lebih penting, kamu bangga pada dirimu sendiri karena telah memimpin dengan hati.”

            Arka mengangguk. Ia tahu, perjalanan sebagai pemimpin kecilnya baru permulaan. Di tahun-tahun mendatang, ia akan terus belajar dan tumbuh, membawa semangat demokrasi, gotong royong, dan keberanian untuk mendengarkan. Karena menjadi pemimpin bukan soal posisi, tapi tentang niat untuk membuat perbedaan sekecil apa pun itu.

Postingan Terkait