2025/10/05

Pendidikan sebagai Laku Kemanusiaan: Refleksi Pribadi dalam Perspektif Durkheim, Mead, Freire, dan Bourdieu

Sebagai seorang pendidik sosial, saya memandang pendidikan bukan hanya proses mentransfer pengetahuan, tetapi laku kemanusiaan yang menumbuhkan kesadaran moral, sosial, dan spiritual. 

Engelbertus Kukuh Widijatmoko, S.H., M.Pd.
(Universitas PGRI Kanjuruhan Malang)

Tulisan ini merupakan refleksi pribadi saya—yang oleh mahasiswa kerap memanggil “Dosenblankon”—tentang hakikat pendidikan dalam cahaya pemikiran Emile Durkheim, George Herbert Mead, Paulo Freire, dan Pierre Bourdieu. Saya berupaya menyintesiskan keempat pandangan tersebut untuk menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah proses memanusiakan manusia melalui nilai, dialog, pembebasan, dan transformasi habitus. Pendidikan bukan sekadar sistem, melainkan perjalanan spiritual sosial yang menjahit insan pada sesamanya.


Kata kunci: pendidikan kemanusiaan, refleksi, solidaritas sosial, pembebasan, habitus budaya


Pendahuluan


Bagi saya, pendidikan adalah jalan panjang untuk menumbuhkan kesadaran dan kebijaksanaan. Ia tidak berhenti pada capaian kognitif, tetapi mengakar pada dimensi moral dan sosial manusia. Di ruang kelas, saya selalu meyakini bahwa mengajar berarti menyalakan kesadaran, bukan sekadar mengisi kepala.


Sebagai dosen yang lahir dan dibesarkan dalam budaya Jawa, saya melihat pendidikan sebagai “laku sosial” — tindakan kolektif yang menumbuhkan kesadaran kemanusiaan melalui kebersamaan, gotong royong, dan refleksi diri. Dalam konteks itu, saya merasa dekat dengan gagasan Durkheim, Mead, Freire, dan Bourdieu, yang meski lahir dari tradisi Barat, tetap memberi ruang bagi interpretasi lokal dan spiritualitas Nusantara.


Pendidikan sebagai Tindakan Moral dan Solidaritas Sosial (Durkheimian)


Durkheim menegaskan bahwa pendidikan adalah alat moral masyarakat. Saya memahami pandangan itu sebagai panggilan bagi kita, pendidik Indonesia, untuk menumbuhkan solidaritas sosial di tengah perubahan zaman.


Nilai gotong royong, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap sesama adalah inti moral yang harus dihidupkan kembali. Di dalam kelas, saya berusaha menanamkan bahwa setiap pengetahuan harus berakar pada tanggung jawab sosial. Pendidikan yang tidak menumbuhkan rasa memiliki terhadap sesama, bagi saya, hanyalah rutinitas akademik tanpa jiwa.


Karena itu, saya sering menyebut pendidikan sebagai “tenun sosial yang mengikat kemanusiaan” — tempat di mana nilai, etika, dan kebersamaan dijahit menjadi satu harmoni.


Pendidikan sebagai Dialog Sosial (Meadian)


Saya sepakat dengan George Herbert Mead bahwa diri manusia dibentuk melalui interaksi simbolik. Dalam konteks pembelajaran, hal ini berarti bahwa pendidikan sejati lahir dari dialog, bukan monolog.


Saya tidak pernah melihat mahasiswa sebagai objek pengajaran. Mereka adalah mitra belajar yang bersama-sama menafsirkan realitas. Dalam kelas saya, setiap diskusi adalah ruang tumbuh bagi “diri sosial”.

Bagi saya, mengajar bukan sekadar berbicara, tetapi mendengarkan dengan empati. Di situlah kesadaran tumbuh, dan pengetahuan menjadi pengalaman hidup.


Pendidikan tanpa dialog adalah kemandekan, sementara pendidikan yang dialogis adalah kehidupan itu sendiri.


Pendidikan sebagai Pembebasan Kesadaran (Freirean)


Saya banyak belajar dari Paulo Freire bahwa pendidikan dapat menjadi alat penindasan atau praktik kebebasan. Dalam perjalanan saya mengajar, saya sering melihat bahwa sistem pendidikan kita kadang terlalu mengatur dan menakutkan. Ia membuat siswa takut salah, bukan berani berpikir.


Karena itu, saya berusaha menjadikan pendidikan sebagai tindakan pembebasan kesadaran. Setiap mahasiswa saya ajak untuk membaca realitas sosial, berani mengkritik ketidakadilan, dan menemukan solusi berbasis nilai kemanusiaan.


Saya meyakini bahwa pendidikan harus membangkitkan keberpihakan hati dan ketajaman akal. Guru bukan penguasa kelas, melainkan penyulut kesadaran. Bila pembelajaran tidak membebaskan, maka ia sedang memperbudak.



Pendidikan sebagai Transformasi Habitus dan Modal Kultural (Bourdieuan)


Pierre Bourdieu mengingatkan bahwa pendidikan sering menjadi alat reproduksi ketimpangan sosial. Namun saya percaya bahwa pendidikan juga dapat menjadi arena transformasi habitus bila kita berani memberi ruang bagi modal budaya lokal.


Dalam konteks Jawa, nilai nguwongke uwong (memanusiakan manusia) adalah bentuk habitus kemanusiaan yang harus diperkuat. Saya berusaha menjadikan ruang kuliah sebagai tempat di mana modal budaya lokal — seperti kejujuran, gotong royong, dan spiritualitas — bertemu dengan pengetahuan modern.


Pendidikan yang saya bayangkan adalah perpaduan antara akal global dan hati lokal. Ketika keduanya bertemu, pendidikan menjadi kekuatan yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga menyembuhkan masyarakatnya.


Refleksi dan Sintesis


Keempat pandangan besar tersebut saya pahami bukan sebagai teori yang berdiri sendiri, tetapi sebagai cermin bagi pengalaman saya sebagai pendidik. Dari Durkheim saya belajar pentingnya nilai kolektif; dari Mead saya belajar kekuatan dialog; dari Freire saya belajar keberanian untuk membebaskan; dan dari Bourdieu saya belajar mengubah habitus sosial.


Bagi saya, keempatnya berkelindan dalam satu kalimat sederhana namun mendalam:

Pendidikan yang sejati adalah laku sosial yang memerdekakan akal dan menyejukkan hati; dari sanalah lahir manusia yang bukan hanya cerdas berpikir, tetapi juga luhur bertindak.”


Pendidikan adalah jalan sunyi yang menuntut kesabaran, kesadaran, dan ketulusan. Ia adalah kerja sosial dan spiritual untuk menumbuhkan manusia yang beriman pada nilai, bukan hanya pada rumus.



Kesimpulan


Sebagai Dosenblankon, saya memaknai pendidikan sebagai perjalanan memanusiakan manusia. Pendidikan bukan sekadar kurikulum atau sistem, melainkan laku reflektif yang menggabungkan moral, dialog, kebebasan, dan transformasi sosial.


Pendidikan yang bermakna adalah pendidikan yang menjahit insan pada sesamanya, menumbuhkan kesadaran bahwa kita semua saling membutuhkan dalam membangun kehidupan yang adil dan beradab.


Saya percaya, jika guru mampu menyalakan keberpihakan hati dan ketajaman akal, maka setiap kelas akan menjadi taman kemanusiaan, dan setiap siswa akan menjadi cahaya perubahan.


Postingan Terkait

Cari Blog Ini