Dongeng: “Tabrakan Irama di Balik Panggung Kuda Lumping”
Di Desa Watu Kembar, kelompok seni Kuda Lumping dikenal sebagai yang paling kompak. Di antara peralatan sakralnya, ada dua benda yang sangat dihormati: Jaran Wulung, kuda kepang tua yang penuh tanda usia, dan Cemeti Kencana, pecut baru yang lincah dan berkilau. Keduanya selalu tampil bersama dalam setiap pertunjukan.
Menjelang Festival Budaya, suasana di balik panggung mendadak memanas.
“Kamu terlalu lambat, Wulung!” seru Cemeti Kencana sambil mengibas ujungnya. “Gerakanmu tidak mengikuti ritme baru yang diminta para penari muda.”
Jaran Wulung mendengus, suaranya dalam dan berat.
“Aku bukan lambat, Kencana. Aku mengikuti pakem leluhur. Kuda Lumping bukan hanya soal cepat, tapi tentang roh yang tertata.”
Di sudut ruangan, Penari Bayu, seorang remaja yang menjadi penghubung keduanya, menghela napas.
“Kalian ini simbol Jaranan. Kalau bertengkar begini, bagaimana besok kita tampil?”
Namun Kencana membalas cepat, “Konflik itu perlu, Bayu. Tapi dia—Wulung—selalu menolak perubahan.”
Wulung menoleh pelan, “Dan kamu terlalu cepat melupakan akar tradisi.”
Keduanya terdiam. Suasana tegang menyelimuti bale latihan.
Bayu, yang sejak kecil belajar kearifan lokal dari para sesepuh, akhirnya bicara, “Mungkin konflik ini bukan kebetulan. Sesepuh bilang, seperti gamelan, nada tinggi dan rendah harus saling menyapa, bukan saling menenggelamkan.”
Namun Kencana masih menegang. “Aku hanya ingin pertunjukan kita memukau.”
Wulung menatapnya lembut. “Aku pun ingin itu. Tapi ingat, Kencana… Kuda Lumping bukan tarian biasa. Ia adalah jembatan antara zaman dulu dan nanti. Kalau kita hilangkan salah satunya, jembatan itu runtuh.”
Bayu mengangguk, mengutip perkataan yang pernah ia baca.
“Lewis Coser bilang, konflik itu seperti katup udara. Ia muncul supaya ketegangan lama bisa keluar dan memberi jalan bagi pemahaman baru. Mungkin kalian perlu mendengar suara satu sama lain lebih dalam.”
Kencana tertegun. “Jadi… konflik ini bisa berguna?”
Wulung menjawab, “Bisa. Asal tidak saling menjatuhkan. Kita berdebat bukan untuk menang, tapi untuk menemukan irama yang lebih baik.”
Akhirnya Bayu mengambil posisi di tengah. “Baik. Kita coba latihan. Kencana, berikan ritme cepatmu. Wulung, coba tanggapi dengan dasar gerakan tradisimu. Kita lihat apakah dua zaman itu bisa menari bersama.”
Gamelan mulai dipukul. Awalnya iramanya timpang—terlalu cepat di satu sisi, terlalu dalam di sisi lain. Namun pelan-pelan, ritme itu menyatu. Ketukan Kencana menjadi lebih sabar. Gerakan Wulung menjadi lebih fleksibel.
Setelah beberapa menit, terciptalah harmoni baru: sebuah tarian yang memadukan tradisi lembut dan semangat modern, membuat Bayu merinding.
Kencana tertawa kecil. “Wulung, ternyata kita cocok juga ya.”
Wulung menjawab, “Konflik tadi menuntun kita pada irama yang lebih jujur.”
Bayu tersenyum. “Begitulah Jaranan hidup—bukan dari keseragaman, tapi dari pertemuan perbedaan.”
Esoknya, tarian mereka menjadi sorotan festival. Para penonton terpukau oleh energi baru yang lahir dari konflik yang terselesaikan dengan bijak.
Pesan Moral
Konflik tidak selalu merusak. Bila dihadapi dengan hati terbuka, konflik dapat menjadi jembatan untuk memahami perbedaan, memperbaiki hubungan, dan menciptakan harmoni baru—seperti Kuda Lumping yang hidup dari perpaduan tradisi dan pembaruan.

