Bencana Alam Dalam Perspektif EKSOS THEORY
Indonesia ini ibarat rumah besar dengan halaman yang luas, dapur berapi, kamar penuh pepohonan, dan atap yang terbuat dari awan. Rumah yang kalau dilihat dari jauh tampak megah, tapi kalau didekati, banyak sudutnya yang mulai rapuh karena pemiliknya terlalu sibuk memperindah teras, lupa memperbaiki pondasi.
Rumah itu bukan sekadar tempat tinggal; ia sebuah organisme yang bernapas. Ketika satu sisi tersenggol, seluruh bangunannya ikut bergetar. Begitulah cara EKSOS THEORY membaca bencana: bukan sebagai hukuman, tetapi sebagai tubuh besar yang mencoba memberi sinyal bahwa ada yang salah dengan cara kita hidup.
Hujan deras, misalnya. Ia seperti tamu tua yang selalu datang dengan sopan, duduk perlahan, lalu menyapa daun, tanah, dan sungai. Tapi kini kedatangannya berubah jadi dramatis. Begitu ia mengetuk pintu, rumah langsung kebanjiran. Bukan karena si tamu berubah, tetapi karena sofa, meja, dan lemari—alias hutan, tanah, dan sungai—sudah tidak pada tempatnya. Kita memindah-mindahkannya sembarangan, menyingkirkan pohon untuk lahan, mendangkalkan sungai untuk bangunan, dan menutup tanah dengan aspal. Maka ketika hujan datang, ia bingung: “Lho, rumahnya sudah lain?”
Dalam bahasa EKSOS, ini namanya relasi yang terputus. Seperti sahabat lama yang tak pernah ngobrol lagi, akhirnya salah paham. Hujan merasa ditolak, tanah merasa ditinggalkan, sungai merasa dipaksa menelan air lebih cepat dari kapasitasnya. Lalu terjadi banjir bandang—bukan tragedi alam, tetapi drama hubungan yang tidak dibereskan.
Di kota, ceritanya lebih lucu sekaligus pahit. Kota kita itu seperti orang yang ingin tampil rapi di Instagram: semuanya mengilap, penuh beton, lampu, dan gedung. Tapi di balik itu, sistem pencernaannya—drainase, ruang resapan, jalur air—mirip orang yang makan banyak tapi jarang minum. Macet sedikit saja, langsung masuk angin. Hujan sebentar, langsung tersedak. EKSOS menyebut kota seperti ini sebagai eksosistem yang kehilangan ritme, terlalu sibuk mengejar kilau, lupa bahwa ia masih bagian dari bumi yang punya aturan sendiri.
Lalu ada tanah longsor. Ini seperti lemari tua yang lama tidak dipaku ulang. Kita ambil kayunya untuk sesuatu yang lebih cepat menghasilkan, lalu dinding bukit ditinggalkan tanpa pengikat. Saat hujan datang, bukit pun jatuh seperti rak buku yang kelebihan beban. Longsor bukan kejutan; ia tanda bahwa kita terlalu lama menunda perbaikan.
Kebakaran hutan pun tak kalah dramatis. Bayangkan seseorang yang dulu hidup tenang dalam rumah basah penuh pepohonan, lalu tiba-tiba semua diganti menjadi kebun kering. Lingkungannya berubah dari hening menjadi mudah marah. Sedikit gesekan sudah cukup membuatnya terbakar. EKSOS melihat api sebagai bahasa terakhir alam, ketika bisikan sudah tak lagi didengar.
Dalam perspektif EKSOS THEORY, bencana alam di Indonesia adalah sandiwara besar tentang retaknya hubungan. Alam sedang mengirim surat cinta yang berubah menjadi surat peringatan. Kita hanya perlu membaca ulang, memahami teksnya, lalu merespons dengan benar. Caranya? Kembalikan hutan ke punggung gunung, beri ruang napas bagi sungai, bangun kota seperti organisme yang butuh oksigen, bukan hanya pajangan.
Sederhana:
Jika kita memperlakukan alam sebagai keluarga, bukan pramusaji, maka rumah besar bernama Indonesia akan kembali stabil. Sebab alam itu tidak jahat—ia hanya terus berbicara. Kadang lembut, kadang keras. Dan bencana hanyalah volume yang dinaikkan ketika kita terlalu lama tidak mendengarkan.

