2025/12/04

Adipati Kanjuruhan & EKSOS Theory: Menyulam Alam, Merawat Sesama, Menghidupkan Rasa

 


Pekan Ekspresi Seni Budaya Nusantara 2025 datang seperti suara semesta yang perlahan membangunkan pagi. Tidak tergesa, tidak ingin menonjol, tetapi mampu membuat siapa pun menoleh. Lapangan semesta yang hijau menjadi panggung alam; udara sejuknya menjadi tirai, dan para mahasiswa baru menjadi pelaku utama cerita yang hanya hidup sekali dalam sejarah angkatan mereka.


Tema “Jejak Mahakarya Nusantara: Bersatu dalam Kreasi, Merajut Tenun Keberagaman” bukan sekadar deretan kata, tetapi mantra yang menggugah kesadaran. Begitu kirab Adipati Kanjuruhan diberangkatkan oleh Wakil Rektor I, perjalanan budaya berubah menjadi perjalanan batin: dari ruang kuliah menuju ruang kehidupan.


Di sinilah EKSOS Theory bekerja—diam, tapi terasa. Lembut, tapi tegas. Menjadi kompas tiga arah: Ekologi, Sosial, Spiritual.

1. Ekologi – Jejak Budaya yang Menyapa Alam

Dimensi ekologi dalam EKSOS Theory mengingatkan bahwa budaya Nusantara tidak pernah tumbuh dari ruang kosong. Ia tumbuh dari tanah yang diinjak, hutan yang dirawat, sungai yang dijaga, dan gunung yang dihormati.

Dalam kirab ini, mahasiswa membawa pulang ingatan ekologis bangsa: tarian yang mengambil geraknya dari hembusan angin, kostum yang warnanya setia pada palet bumi, musik yang ritmenya sering meniru hujan.


Ketika para peserta melangkah di bawah rimbun pepohonan, budaya seakan kembali “ditanam” di tanah kelahirannya. Mereka tidak hanya menampilkan tradisi, tetapi sedang berdialog dengan alam—dialog tua yang disuarakan ulang oleh generasi baru.





2. Sosial – Ruang Berjumpa, Ruang Belajar Menjadi Indonesia

Dimensi sosial adalah tempat kegiatan ini berdetak paling keras.

Di balik senyum, seragam adat, dan tawa latihan, ada proses panjang yang tak tertangkap kamera: negosiasi antar kelompok, gotong royong menata properti, atau sekadar saling menguatkan ketika latihan mulai melelahkan.


Inilah laboratorium sosial yang sesungguhnya. Nilai-nilai Pancasila tidak dijejalkan lewat ceramah, tetapi tumbuh dari pengalaman bersama.

Di sini mahasiswa merasakan bahwa kebinekaan tidak perlu didefinisikan—cukup dijalani. Perbedaan suku, musik, logat bicara, hingga referensi humor sekalipun menjadi tali yang mengikat mereka dalam satu simpul: simpul Indonesia.


Sosiologi menyebutnya kohesi, budaya menyebutnya harmoni, tetapi mahasiswa menyebutnya sederhana saja: “rasa teman satu perjuangan.”

3. Spiritual – Rasa yang Tidak Terlihat Tapi Menuntun


Ini bagian paling halus dalam EKSOS Theory, tetapi justru paling kuat.

Spiritual bukan bicara ritual keagamaan, melainkan kedalaman rasa.

Ketika seorang mahasiswa mengenakan pakaian adat daerahnya, ada detak bangga yang tidak bisa dijelaskan. Ketika musik tradisi dimainkan, ada rasa pulang yang muncul tanpa diundang.


Di panggung semesta itu, seni tidak lagi menjadi tontonan.Ia menjadi jembatan batin: menghubungkan generasi kini dengan suara masa lalu.

Dalam kerangka fungsionalisme struktural, setiap simbol budaya—keris, gelang rotan, tenun, topeng—menjadi organ sosial yang menjaga keseimbangan rasa kebangsaan.


Kirab budaya pun berubah menjadi ritual perjalanan: dari masa lalu menuju masa depan; dari individu menuju bangsa.


Penutup – Menyulam Indonesia dalam Tiga Lapisan


Dengan membaca kegiatan ini lewat lensa EKSOS Theory, tampak jelas bahwa budaya bukan sekadar acara penutup PKKMB.

Ia adalah proses menyulam Indonesia dalam tiga lapisan:

alam yang memelihara, sesama yang menguatkan, dan rasa batin yang menuntun.


Di titik itulah Adipati Kanjuruhan berdiri—bukan sebagai ikon kirab, tetapi sebagai pengingat bahwa menjadi mahasiswa bukan hanya mencari ilmu, tetapi juga merawat identitas.


Dan dari panggung semesta yang sederhana itu, lahirlah generasi baru Unikama yang siap membawa Nusantara di kepalanya, dan Indonesia di hatinya.

Postingan Terkait

Cari Blog Ini