Modern Nir-budaya
Oleh: Yolanda Virginia Eka Rosari, Mahasiswa STIKES Panti Waluya Malang
Kalimat yang berkesan bagi saya adalah kutipan “Modernitas tanpa budaya adalah kehilangan arah; budaya tanpa refleksi adalah kebekuan. Blankonisme menjahit keduanya menjadi kesadaran baru.” Hal ini menarik untuk saya, karena pada zaman sekarang yang rata-rata masyarakat diisi oleh generasi Z sering kali melupakan atau mulai meinggalkan budaya dari bangsa sendiri yang dianggap tidak sesuai atau tidak relevan lagi dengan kehidupan di zaman sekarang.
Generasi sebelum gen Z banyak yang berperilaku sebagaimana yang telah diajarkan oleh generasi-generasi sebelumnya tanpa mengimplementasikan atau menyesuaikan dengan zaman sehingga dianggap kuno atau kurang mengikuti zaman. Sementara generasi Z tidak akan melakukan “tradisi” atau kebiasaan turun temurun yang dinilai kurang relevan di zaman sekarang seperti kegiatan ospek yang berlebihan dan semacamnya.
Pernyataan “Modernitas tanpa budaya adalah kehilangan arah” mengingatkan kita bahwa kemajuan teknologi dan pengetahuan tidak cukup jika tidak dilandasi nilai-nilai, identitas, dan makna yang diwariskan oleh budaya. Modernitas tanpa budaya adalah ketika sebuah masyarakat terlena dengan kemajuan materi, tetapi kehilangan jati diri, hilang rasa keterikatan pada akar sejarah dan nilai-nilai luhur yang membentuknya. Dalam konteks ini, modernitas tanpa budaya ibarat bangunan tinggi tanpa pondasi—meskipun menjulang megah, ia rawan roboh ketika badai datang. Budaya memberikan warna, konteks, dan identitas yang menuntun modernitas agar tidak terjebak dalam arus globalisasi yang homogen dan kehilangan keunikan setiap komunitas.
Sebaliknya, budaya tanpa refleksi adalah kebekuan. Budaya yang tidak mampu melihat dirinya sendiri secara kritis dan terbuka untuk berevolusi akan terjebak dalam tradisi yang kaku dan rigid. Kebekuan ini menimbulkan konservatisme buta yang menolak perubahan, yang akhirnya mengisolasi budaya tersebut dari perkembangan zaman. Tradisi dan adat yang mestinya menjadi sumber kekuatan malah menjadi belenggu yang menghambat kreativitas dan inovasi. Oleh karena itu, refleksi dalam budaya adalah proses penting untuk merekonstruksi makna budaya secara dinamis, sehingga budaya tetap relevan dan hidup dalam konteks modern.
Gen Z tumbuh di era globalisasi dan digitalisasi dengan akses luas terhadap informasi dan budaya asing. Modernitas dalam wujud teknologi canggih, media sosial, dan gaya hidup global telah membentuk pola pikir mereka yang lebih terbuka dan fleksibel. Namun, tanpa landasan budaya yang kuat, modernitas ini bisa membuat mereka kehilangan arah identitas dan rasa keterikatan pada nilai-nilai lokal yang membentuk jati diri mereka sebagai bangsa. Hal ini sesuai dengan konsep modernitas tanpa budaya yang berpotensi menciptakan krisis identitas yang dialami oleh banyak anak muda saat ini.
Di sisi lain, budaya tanpa refleksi dalam konteks Gen Z berarti tradisi yang statis dan kaku, tanpa memberi ruang bagi adaptasi dan inovasi agar relevan dengan zaman. Generasi ini seringkali menolak budaya jika dianggap kuno dan tidak sesuai dengan gaya hidup mereka. Budaya yang tidak dibarengi refleksi kritis akan mengalami kebekuan dan kehilangan maknanya bagi Gen Z yang hidup dalam dunia yang cepat berubah.
Generasi Z juga dinilai lebih vocal dalam mengutarakan pendapatnya contohnya pada dunia kerja, generasi milenial akan melakukan apapun yang disuruh oleh atasannya meskipun bukan bagian dari tugasnya. Hal ini dapat dikarenakan rasa tidak enak, sungkan, atau memang sudah terbiasa untuk diperlakukan seperti itu sehingga beban kerja yang didapat tidak sesuai dengan gaji yang diterima. Di lain sisi, generasi Z akan langsung menolak mengerjakan tugas yang memang bukan bagian dari pekerjaannya sehingga terdapat keseimbangan dalam pekerjaan dan gaji yang telah diterima. Perbedaan keduanya dapat menimbulkan konflik dan selama ini yang saya rasakan adalah generasi milenial terlalu
Contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah saya sebagai generasi Z dianggap kurang sopan dalam menghubungi seseorang yang lebih tua melalui chat. Chat atau pesan yang saya kirim sudah jelas dan to the point tetapi masih dalam batas yang sopan. Hal ini dapat dipandang melalui 2 sisi, yaitu sisi sebagai generasi Z dan juga sisi sebagai milenial.
Jika dipandang dari sisi milenial, chat saya termasuk dalam kategori yang kurang sopan karena tidak adanya basa-basi dan tidak bertele-tele sehingga pesannya hanya sedikit. Sejauh yang saya tahu, jika generasi milenial menghubungi orang lain atau orang yang lebih tua akan mengirimkan pesan yang sangat panjang dan tidak langsung membahas point utamanya sehingga patokan tersebut yang menjadi tolak ukur kesopanan dalam menghubungi orang lain.
Sementara menurut saya, yang juga merupakan bagian dari generasi Z lebih efisien dan tidak akan menimbulkan salah arti atau bahkan kehilangan point dari chat tersebut. Jika dipikirkan kembali menggunakan pemikiran generasi Z, chat atau pesan yang dikirim harus to the point atau langsung membahas inti dari pesan tersebut karena tidak jarang orang akan salah tafsir, malas membaca, ataupun kehilangan point yang akan disampaikan sehingga point tersebut tidak tersampaikan dengan maksimal atau bahkan tidak dibaca sama sekali.
Menurut saya, pesan yang saya tulis sudah menyertakan identitas diri seperti nama dan nomor induk mahasiswa, tujuan menghubungi, dan ucapan terimakasih.
Selain itu, Gen Z juga menghadapi risiko seperti tekanan media sosial, krisis identitas, dan gaya hidup hedonistik akibat modernitas yang tidak disertai pegangan kuat. Ini menegaskan pentingnya “menjahit” kembali modernitas dan budaya agar pembentukan karakter dan identitas mereka tidak kehilangan arah atau membeku dalam tradisi tanpa makna.
Singkatnya, bagi Gen Z, Blankonisme menjadi kesadaran baru yang mengajarkan pentingnya mengintegrasikan kemajuan teknologi dan budaya sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Dengan cara ini, mereka dapat melangkah maju tanpa kehilangan akar dan identitas, serta menjaga budaya tetap hidup melalui refleksi dan inovasi yang relevan zaman modern.

