2025/11/13

KESADARAN KEWARGAAN PADA RASA

 

Blankonisme menegaskan bahwa kesadaran kewargaan tidak bisa tumbuh di tanah yang kering dari rasa. “Menjadi warga” bukan sekadar tunduk pada hukum, melainkan ikut menjaga keseimbangan batin sosial. Nilai-nilai seperti gotong royong, andhap asor, dan eling lan waspada menjadi jangkar etis dalam kehidupan bermasyarakat.


Oleh Yosef Freinademezt Sandro Alfresco, mahasiswa Stikes Panti Waluya Malang 


Konsep Blankonisme menekankan bahwa kesadaran kewargaan sejati tidak semata-mata bersumber dari kepatuhan terhadap aturan, tetapi lahir dari kepekaan rasa serta tanggung jawab sosial yang mendalam. Menjadi warga berarti hadir sepenuhnya dalam kehidupan bersama—tidak hanya menjalankan kewajiban hukum, melainkan juga menumbuhkan keseimbangan batin dalam interaksi sosial. Dalam kerangka ini, nilai-nilai kearifan lokal seperti gotong royong, andhap asor, dan eling lan waspada berperan sebagai dasar etika yang meneguhkan solidaritas serta memperkuat jalinan kemanusiaan di antara anggota masyarakat.


Dalam tatanan yang ideal, masyarakat Indonesia diharapkan hidup dengan kesadaran kewargaan yang berpijak pada rasa kebersamaan dan empati sosial. Setiap individu bukan hanya menuntut hak-haknya, tetapi juga berperan aktif dalam menjaga keharmonisan sosial. Nilai gotong royong menjadi roh kehidupan sehari-hari, kerendahan hati memperhalus cara berinteraksi, sementara kewaspadaan moral menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif. Dalam situasi semacam itu, negara dan warganya berjalan seiring, saling menumbuhkan rasa percaya dan memperkuat satu sama lain dalam bingkai kebangsaan yang harmonis.


Namun, realitas sosial dewasa ini menunjukkan adanya pergeseran nilai yang cukup mengkhawatirkan. Kesadaran kewargaan kerap direduksi menjadi sekadar kepatuhan formal terhadap aturan tanpa disertai dimensi moral yang mendalam. Arus individualisme dan kompetisi ekstrem perlahan mengikis semangat gotong royong yang dahulu menjadi ciri khas bangsa. Sikap andhap asor tergantikan oleh ambisi pribadi, sementara nilai eling lan waspada mulai pudar di tengah derasnya arus digitalisasi dan pragmatisme sosial. Akibatnya, hubungan sosial menjadi lebih rapuh, dan nilai-nilai luhur kian terpinggirkan oleh logika efisiensi dan kepentingan sesaat.


Perbedaan mendasar antara kondisi ideal dan realitas terletak pada hilangnya unsur “rasa” dalam kehidupan berwarga. Hukum yang seharusnya menjadi panduan moral kini cenderung berfungsi secara kaku tanpa sentuhan nilai kemanusiaan. Ketika norma hukum kehilangan dimensi rasa dan kebijaksanaan lokal, yang tersisa hanyalah kepatuhan tanpa makna. Akibatnya, struktur sosial kehilangan daya ikat batin yang menjadi penopang harmoni masyarakat. Hukum tanpa rasa keadaban pada akhirnya hanya melahirkan ketaatan semu yang rapuh dan mudah runtuh ketika diuji oleh dinamika sosial.


Menurut pandangan Blankonisme, upaya membangun kembali kesadaran kewargaan harus dimulai dengan menghidupkan kebijaksanaan lokal sebagai penyeimbang arus modernitas. Dalam hal ini, “rasa” berfungsi sebagai medium yang menyatukan individu dengan komunitasnya, menghubungkan logika rasionalitas modern dengan kehangatan nilai-nilai budaya yang telah mengakar lama dalam kehidupan bangsa.


Kini saatnya menumbuhkan kembali kesadaran berwarga yang bersandar pada kepekaan rasa dan kemanusiaan. Mari kita hidup dengan semangat saling menghormati, saling menolong, dan menjaga harmoni sosial. Jadilah warga yang bukan hanya taat pada hukum, tetapi juga berjiwa luhur dan berakar pada nilai-nilai kearifan lokal—sebab dari sanalah sumber sejati dari jati diri kebangsaan tumbuh dan menguat.

Postingan Terkait

Cari Blog Ini