DNA Blankon Leadership VS Guru
Menjadi guru, dalam perspektif DNA Blankon Leadership, bukanlah sekadar menguasai materi atau mengikuti kurikulum. Ini adalah sebuah laku spiritual dan kepemimpinan yang dimulai dari dalam. Inti dari peran guru adalah menjalankan enam DNA fundamental yang mengubah kelas menjadi ruang pertumbuhan kesadaran, bukan hanya akumulasi pengetahuan.
Oleh Dwi Rahayu Ningsih Mahasiswa RPL Afirmasi PG Paud 2025 Unikama TK Islam Riyadlul Jannah Malang
Guru memulai perjalanannya dari Kesadaran sebagai Pangkal. Ia paham bahwa setiap langkahnya mulai dari senyum di pintu kelas hingga keputusan pada penilaian adalah pantulan nilai. Ia tidak reaktif saat menghadapi tantangan, tetapi reflektif, sadar bahwa kekacauan di kelas seringkali berawal dari beban pikiran yang tak tertata di kepalanya sendiri. Guru yang sadar adalah guru yang eling lan waspada, selalu waspada terhadap ego yang mencoba mengambil alih kekuasaan.
Di tengah derasnya tuntutan administrasi dan dinamika siswa yang saat ini terjadi, guru dapat menemukan kekuatan dalam Keheningan sebagai Ruang yang Strategis. Keheningan bukanlah hal yang pasif, melainkan mode berpikir yang jernih. Ketika konflik mulai bermunculan atau keputusan yang sulit dan harus diambil, guru menarik napas panjang, menciptakan jeda taktis agar logika dan rasa dapat beradu untuk berdialog di ruang kepalanya yang "tertutup blankon." Keputusan yang lahir dari ruang hening ini adalah suatu keputusan yang tenang dan terarah.
Selanjutnya, guru memimpin dengan Rasa sebagai Kompas. Dimana dia tahu bahwa angka di rapor tidak pernah menceritakan kisah seutuhnya. Rasa kemampuan membaca energi social menjadi suatu strategi yang utama dan bermakna. Ia sudah dapat membedakan mana siswa yang malas dan mana yang kesulitan; ia tahu juga kapan harus menegur dengan ketegasan (Nalar) dan kapan harus memeluk saying dengan pengertian (Rasa). Kata empati baginya bukan sekadar nilai moral, melainkan sebagai alat navigasi sosial untuk menentukan intervensi yang masa depan yang paling tepat.
Guru menolak menjadi sebuah menara gading. Napas kepemimpinannya adalah Rasa Gotong Royong, sebuah kolegialitas aktif yang menolak kesendirian. Di dalam kelas, ia adalah poros penghubung, yang mengayomi (melindungi) siswa yang rentan, mengayemi (menenangkan) kecemasan belajar, dan menggugah (membangkitkan) potensi terpendam anak-anak. Ia tidak berdiri di atas siswa, tetapi di antara mereka, menghidupkan gerak kolektif (Bersama-sama) yang membuat seluruh ekosistem dalam belajar tumbuh Bersama searah berjalannya waktu.
Semua DNA ini dipertanggung jawabkan melalui perilaku sebagai Bukti. Guru Blankon tidak menjual janji, ia menjalani visinya. Ia sadar bahwa kepercayaan siswa tidak lahir dari wacana-wacana yang indah, tetapi dari konsistensi tindakannya yang nyata antara sesuatu yang diucapkan dan sesuatu yang dilakukan. Ia menjalankan prinsip-prinsip Jawa: ngono yo ngono, ning ojo ngono, memastikan bahwa tindakannya selalu seimbang antara idealism, nilai dan realitas praktik, sehingga keteladanannya otentik (nyata).
Pada lapisan terdalam, guru mengemban Spiritualitas sebagai Penuntun. Ia memandang otoritas mengajarnya sebagai titipan, bukan jabatan yang dikejar. Orientasinya bukan pada kenaikan pangkat, tetapi pada kebermanfaatan bagi setiap jiwa yang dipercayakan kepadanya. Blangkon di kepalanya adalah simbol kerendahan hati: ego harus diredam dan disingkirkan agar nurani bisa memimpin.
Inilah perjalanan sunyi seorang guru Blankon: *menundukkan diri sendiri, menata kepala, menjaga jiwa, dan menyalakan cahaya. Ia memimpin bukan untuk dikenal, tetapi untuk dikenang, karena kehadirannya membuka kesadaran dan hati banyak orang*.

