2025/11/15

Blankonisme VS " Pahlawan Dalam Diam"



 Dari artikel dosen blangkon yang saya baca yaitu tentang “Hari Pahlawan dalam Perspektif Blankonisme” terdapat satu kutipan yang menarik perhatian saya yaitu kalimat “Sama seperti pahlawan yang tak selalu bersorak di atas panggung kemenangan, tapi bekerja dalam diam, menyusun langkah demi langkah untuk kemerdekaan yang lebih sejati — kemerdekaan berpikir, merasa, dan bertindak”.

Oleh : Kezia Ofellia, Mahasiswa STIKES Panti Waluya Malang

Saya mengambil dari artikel berjudul “Hari Pahlawan dalam Perspektif Blankonisme”. Pada artikel tersebut saya tertarik dengan kalimat “Sama seperti pahlawan yang tak selalu bersorak di atas panggung kemenangan, tapi bekerja dalam diam, menyusun langkah demi langkah untuk kemerdekaan yang lebih sejati — kemerdekaan berpikir, merasa, dan bertindak.”

 Dalam kalimat tersebut, “bekerja dalam diam” memiliki arti bahwa menjalani proses hidup tanpa harus mencari pengakuan dari orang lain. Kalimat tersebut juga memiliki arti bahwa apa yang kita kerjakan merupakan bagian dari proses untuk berkembang, dan proses itu tidak harus disertai pujian dari orang lain. 

Kalimat tersebut juga mengajarkan bahwa setiap hal yang saya kerjakan terutama dalam konteks pelayanan di Gereja merupakan bagian penting dari proses pembentukan diri. Tidak semua pelayanan harus diketahui banyak orang agar dikenal baik atau yang lainnya.

 Tetapi bagi saya, pelayanan dengan sepenuh hati tanpa tujuan agar menjadi sorotan bagi orang lain adalah cara Tuhan dalam membentuk karakter menjadi probadi yang lebih baik, lebih dewasa, dan lebih banyak belajar tentang kasih. “Bekerja dalam diam” adalah panggilan untuk tetap setia bahkan ketika tidak ada yang melihat atau memuji. Sebagai contoh saat saya menjadi pengurus Gerakan Pemuda, sebagai pengurus ada banyak hal yang diatur seperti menyusun jadwal ibadah, menyiapkan liturgi, mengatur pembagian tugas, hingga menghubungi para pelayan yang bertugas. Begitu juga saat mengisi pujian, banyak orang yang mungkin hanya melihat dan mengomentari pujian yang ditampilkan.

 Namun, mereka tidak melihat proses panjang di baliknya. Ada latihan pribadi, pemilihan lagu yang sesuai tema, menghafalkan lirik, menyamakan nada, mencari tim musik. Ada momen di mana suara terasa kurang baik, pikiran penuh dengan tugas yang lainnya. 

Selain itu, pelayanan sebagai kakak layan dalam ibadah anak-anak menjadi contoh yang sangat jelas tentang pelayanan yang dilakukan dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan. Dimulai dari mempersiapkan cerita Alkitab, membuat aktivitas kreatif, menyanyi bersama, dan menghadapi berbagai tingkah laku anak-anak. Ada anak yang sulit diatur, ada yang malu, ada yang terlalu aktif, atau ada yang menangis karena tidak ingin ditinggal orang tuanya. Semua itu membutuhkan kesabaran yang luar biasa. 

Hal tersebut menurut saya adalah hal yang sangat berat, karena dapat dikatakan saya baru pertama kali mengikuti kegiatan tersebut. Namun, dari situlah saya dapat belajar dan berproses bagaimana menjadi kakak layan yang baik untuk mengajarkan hal-hal baik kepada anak-anak. 

Pelayanan ini tampak sederhana, namun memiliki tantangan tersendiri. Saya harus belajar memahami setiap anak yang memiliki kepribadian dan kebutuhan berbeda. Ada anak yang sangat aktif sehingga sulit untuk duduk diam mendengarkan cerita, ada yang pemalu sehingga harus didekati dengan lebih lembut, dan ada pula yang sangat sensitif sehingga mudah menangis ketika merasa tidak nyaman.

 Saya mulai memahami bahwa pelayanan bukan sekadar melakukan tugas, tetapi juga melibatkan kesabaran, empati, dan ketulusan hati. Apa yang dilakukan terlihat kecil, seperti membantu anak menghafal ayat hafalan, menenangkan ketika mereka gelisah, atau memberikan pujian sederhana ketika mereka mengikuti kegiatan dengan baik, hal-hal kecil tersebut dapat menjadi pengalaman yang baik bagi mereka.

 Pelayanan ini mengingatkan saya bahwa Tuhan juga bekerja melalui hal-hal kecil yang kita lakukan dengan sungguh-sungguh. Saya menyadari bahwa setiap kali saya melayani anak-anak tanpa berharap dipuji, Tuhan sedang membentuk saya menjadi pribadi yang lebih peka, lebih sabar, dan lebih bertanggung jawab.

Melalui contoh dalam kehidupan pribadi saya, semua pelayanan yang dilakukan adalah “bekerja dalam diam.” Tidak ada yang meminta saya untuk dipuji, tidak ada yang memaksa saya untuk dilihat, dan tidak ada yang menjamin bahwa usaha saya akan dihargai secara langsung.

 Saya belajar bahwa pelayanan sejati dilakukan bukan karena ingin dilihat, tetapi karena adanya dorongan dari dalam diri untuk memberikan yang terbaik bagi Tuhan dan bagi orang-orang yang dilayani. Selain itu, dari pengalaman-pengalaman pelayanan tersebut, saya memahami bahwa bekerja dalam diam juga berarti mengizinkan Tuhan bekerja dalam proses. Dalam hal tersebut terkadang saya juga menyadari dan mengenali kekurangan diri, seperti kurang sabar, kurang disiplin, atau kurang peka terhadap kebutuhan orang lain, yang kemudian menjadi titik awal untuk memperbaiki diri.

Saya menyadari bahwa konsep “bekerja dalam diam” tidak hanya relevan dalam pelayanan, tetapi juga sangat penting dalam kehidupan sehari-hari sebagai mahasiswa. Ketika menghadapi tugas, tanggung jawab akademik, dan tekanan perkuliahan, sering kali saya merasa ingin mendapat apresiasi atau pengakuan atas usaha yang telah dilakukan. Namun, melalui makna kalimat tersebut dan pengalaman pelayanan, saya belajar bahwa proses yang dilakukan secara konsisten meskipun tanpa sorakan adalah hal yang jauh lebih bermakna. Hasil yang baik akan datang pada waktunya, dan proses yang saya jalani secara diam-diam justru memberi ruang bagi saya untuk berkembang tanpa rasa terbebani oleh penilaian orang lain.

Kalimat “bekerja dalam diam” bukan hanya sebuah konsep motivasional, tetapi juga merupakan prinsip hidup dan dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Melalui pelayanan di gereja, saya belajar bahwa ketulusan, kerendahan hati, dan kesetiaan adalah nilai-nilai yang perlu terus dikembangkan. 

Saya memahami bahwa Tuhan melihat setiap usaha, seberapa kecil pun itu, dan Ia menghargai pelayanan yang dilakukan dari hati yang tulus. Sehingga, “bekerja dalam diam” bukan berarti tidak terlihat, melainkan memilih untuk memuliakan Tuhan melalui proses yang dilakukan dengan setia, tanpa harus bergantung pada pengakuan manusia.

Postingan Terkait

Cari Blog Ini