Blankonisme VS Kebebasan
Fondasi rasional Blankonisme menempatkan manusia sebagai makhluk berpikir yang sadar relasi: bebas, tapi tidak liar; kritis, tapi tetap beradab. Gagasan ini menekankan bahwa manusia memiliki akal budi untuk berpikir secara rasional dan bertindak secara etis. Kebebasan sejati tidak berarti tanpa batas, tetapi kebebasan yang disertai kesadaran moral serta tanggung jawab terhadap diri dan sesama.
Oleh: Giovani Wela Tala, Mahasiswa Stikes Panti Waluya Malang
Dalam kondisi ideal, manusia mampu berpikir kritis tanpa kehilangan adab. Setiap individu bebas mengemukakan pendapat dengan bijak, menghargai perbedaan, dan menjadikan rasionalitas sebagai pedoman dalam kehidupan sosial. Masyarakat yang rasional adalah masyarakat yang berani berpikir, tetapi tetap menjunjung nilai kesopanan, empati, dan keadilan.
Kenyataannya, kebebasan berpikir sering disalahartikan. Banyak orang merasa bebas untuk berkata atau bertindak tanpa memikirkan dampaknya. Kritik berubah menjadi ejekan, dan keberanian berpikir digantikan oleh kesombongan intelektual. Akibatnya, hubungan sosial menjadi renggang dan nilai-nilai kemanusiaan terkikis.
Jurang antara kondisi ideal dan real terletak pada hilangnya kesadaran relasional dalam berpikir. Rasionalitas yang seharusnya menjadi alat untuk membangun justru digunakan untuk menyerang. Ego dan emosi lebih dominan daripada akal sehat dan etika.
Menurut saya, Blankonisme rasional menuntut manusia untuk menyeimbangkan antara kebebasan berpikir dan tanggung jawab moral. Manusia sejati bukan hanya yang bebas berpikir, tetapi juga yang mampu menata pikirannya dengan etika dan rasa hormat terhadap sesama.
Marilah kita menerapkan semangat Blankonisme rasional dalam kehidupan sehari-hari: berpikir bebas namun tetap santun, bersikap kritis namun beretika. Dengan begitu, kita membangun peradaban yang beradab, rasional, dan manusiawi.

