2025/11/10

Blankonisme VS Globalisasi

  


Blankonisme, sebuah filsafat kesadaran kewargaan yang dicetuskan oleh Engelbertus Kukuh Widijatmoko (Dosen Blankon), hadir sebagai respons terhadap tantangan zaman modern yang seringkali kehilangan arah makna. Lebih dari sekadar penutup kepala tradisional Jawa, blankon dalam Blankonisme adalah simbol yang kaya akan makna filosofis, menghubungkan tiga dimensi penting dalam kehidupan manusia: nalar, sosial, dan spiritual. Filsafat ini berupaya menjahit kembali kesadaran budaya yang terkoyak oleh arus globalisasi dan modernitas.


Oleh : Noor Azizah, Mahasiswa RPL Afirmasi PG Paud 2025 UNIKAMA, TK Aisyiyah Bustanul Athfal 04 Kota Malang


Dalam konteks pendidikan, Blankonisme menawarkan pendekatan yang lebih holistik. Pendidikan kewarganegaraan tidak lagi sekadar hafalan nilai-nilai, tetapi penghayatan mendalam yang mendorong refleksi kritis dan permenungan makna. Guru berperan sebagai "penenun makna" yang memfasilitasi dialog dan membantu siswa menemukan relevansi nilai-nilai budaya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Blankonisme berupaya membentuk warga negara yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kesadaran moral dan sosial yang tinggi.

Di ranah kewarganegaraan, Blankonisme mendorong aksi nyata berbasis budaya. Ini bukan sekadar wacana atau teori, melainkan praktik nyata yang melibatkan pelestarian tradisi, kegiatan sosial yang memberdayakan masyarakat, dan upaya menjaga lingkungan. Blankonisme mengajak setiap individu untuk menjadi agen perubahan yang berkontribusi positif bagi komunitasnya, mewujudkan "citizenship as compassion in action".

Namun, Blankonisme tidak berhenti pada dimensi sosial dan praktis. Filsafat ini juga memiliki akar spiritual yang mendalam. Kesadaran spiritual kewargaan berarti memahami bahwa setiap individu terhubung dengan ekosistem kehidupan secara keseluruhan. Teori EKSOS (Ekologi, Sosial, Spiritual) menjadi landasan penting, menekankan perlunya menjaga keseimbangan antara hubungan manusia dengan alam, sesama, dan Tuhan.

Secara teoretis, Blankonisme berdiri di persimpangan antara filsafat Barat yang menekankan rasionalitas dan kebebasan berpikir, dengan kearifan Nusantara yang mengutamakan harmoni dan keselarasan. Dengan menggabungkan kedua tradisi ini, Blankonisme menawarkan perspektif baru tentang kewargaan yang inklusif dan berkelanjutan. 

Filsafat ini mengajak kita untuk "berblankon": berpikir jernih dengan nalar yang kritis, merasakan empati dengan hati yang welas asih, dan bertindak bijaksana dengan kesadaran spiritual yang mendalam. Blankonisme adalah upaya kecil untuk menjaga kepala tetap menunduk di tengah dunia yang semakin meninggi, sebuah ajakan untuk merawat kesadaran budaya di era globalisasi.

Postingan Terkait

Cari Blog Ini