2025/11/08

Blankonisme VS Deep Learning


Ketika keduanya berpadu, lahirlah model pembelajaran yang tidak hanya menumbuhkan kecerdasan intelektual, tetapi juga kebijaksanaan emosional dan kedalaman spiritual—sebuah harmoni antara pengetahuan dan kearifan, antara tradisi dan inovasi, antara manusia dan kemanusiaannya sendiri.


Oleh : Sulistijantik, Mahasiswa RPL AFIRMASI PG-PUAD 2025 UNIKAMA,  Guru TK Bunga Pertiwi, Blimbing Kota Malang


Saya baru saja membaca artikel berjudul blankonisme. Artikel tersebut menguraikan beberapa hal, dan, saya tertarik beberapa hal, seperti gagasan, pikiran kritis serta mendalam dari Engelbertus Kukuh Widijatmoko. 

Namun, Saya justru menemukan ada benang merah dengan deep learning dalam aspek tertentu. Bagaimana dan seperti apa benah merah keduanya, berikut ini kupasannya. 


Blangkonisme dan deep learning sejatinya lahir dari dua ranah yang berbeda, namun keduanya berjumpa pada satu kesadaran yang sama: manusia harus belajar secara utuh—menggabungkan pikiran, perasaan, dan tindakan. Dalam filosofi Jawa, blangkon tidak sekadar penutup kepala, tetapi simbol penyatuan tiga kekuatan utama dalam diri manusia: berpikir dengan logika, merasa dengan hati, dan bertindak dengan empati. Ketiga unsur ini membentuk harmoni hidup yang menjadi fondasi Blangkonisme. Di sisi lain, deep learning atau pembelajaran mendalam dalam dunia pendidikan modern menekankan pentingnya pemahaman yang reflektif, bermakna, dan berakar pada kesadaran diri. Meski istilahnya baru populer dalam wacana psikologi belajar kontemporer, hakikatnya semangat ini sudah lama hidup dalam kearifan budaya Jawa.


Dalam perspektif Blangkonisme, unsur berpikir yang diwakili oleh “penutup kepala” melambangkan kesadaran dan kemampuan logis dalam mengolah pengalaman belajar. Hal ini sejalan dengan konsep metacognition dalam deep learning, yaitu kemampuan peserta didik untuk menyadari dan mengatur proses berpikirnya sendiri. Unsur kedua, merasa, tercermin dalam bendol atau tonjolan di bagian belakang blangkon, yang menjadi simbol hati dan makna personal. Belajar dalam pandangan ini bukan hanya soal logika, melainkan juga rasa—bahwa setiap pengetahuan harus memiliki nilai emosional dan keterikatan batin agar bermakna. Pandangan ini sejalan dengan gagasan deep learning yang menekankan keterlibatan emosional dan motivasi intrinsik sebagai kunci pemahaman mendalam.


Sementara itu, unsur bertindak dalam Blangkonisme diwujudkan melalui tindakan penuh empati yang melahirkan kegembiraan. Dalam budaya Jawa dikenal ungkapan “ono roso nyaman nggawe blangkon”, yang berarti ada kenyamanan dan kebahagiaan ketika seseorang mampu bertindak dengan empati dan kesadaran diri. Ini selaras dengan praktik deep learning modern yang mengedepankan kolaborasi, refleksi, dan penerapan pengetahuan dalam konteks sosial. Baik Blangkonisme maupun deep learning sama-sama menegaskan bahwa pembelajaran sejati bukan sekadar proses kognitif, melainkan juga perjalanan emosional dan sosial menuju kebijaksanaan.


Blangkonisme memperkaya deep learning dengan dimensi spiritual dan kearifan lokal yang khas. Jika deep learning banyak berpijak pada teori psikologi Barat yang menekankan struktur dan metode, maka Blangkonisme menghadirkan dimensi rasa dan harmoni batin yang mengakar dalam budaya Nusantara. Keduanya bertemu dalam cita-cita yang sama: membentuk manusia pembelajar yang sadar, bermakna, dan bergembira. Dalam perpaduan ini, tradisi dan modernitas tidak lagi berseberangan, melainkan saling menguatkan. Blangkonisme memberi jiwa pada deep learning, sementara deep learning memberi kerangka bagi Blangkonisme untuk diterapkan dalam dunia pendidikan modern.


Dengan demikian, Blangkonisme dan deep learning dapat dipandang sebagai dua jalan menuju satu tujuan: pendidikan yang memanusiakan manusia. Pendidikan yang menutup kepala untuk membuka kesadaran; yang mengajarkan kita berpikir dengan logika, merasa dengan hati, dan bertindak dengan empati. Ketika keduanya berpadu, lahirlah model pembelajaran yang tidak hanya menumbuhkan kecerdasan intelektual, tetapi juga kebijaksanaan emosional dan kedalaman spiritual—sebuah harmoni antara pengetahuan dan kearifan, antara tradisi dan inovasi, antara manusia dan kemanusiaannya sendiri.

Postingan Terkait

Cari Blog Ini