2025/11/13

Blankonisme VS Bullying

 


Blankonisme hadir sebagai sebuah obat bukan sebuah doktrin politik, melainkan sebagai filsafat kesadaran kewargaan yang berupaya menjahit dua kutub yang terpisah: nalar kritis Barat dan jiwa arif Nusantara. Blankon, simbol penutup kepala tradisional, dimaknai sebagai penjaga kesadaran yang berfungsi sebagai antidote (obat penawar) terhadap bullying.


Oleh Dwi Rahayu Ningsih Mahasiswa RPL Afirmasi PG Paud 2025 Unikama TK Islam Riyadlul Jannah Malang


Di tengah hiruk pikuk modernisasi kehidupan, Ketika sebuah teknologi semakin menajamkan nalar namun semakin menumpulkan rasa, muncullah sebuah rasa gelisah: mengapa anak-anak yang sungguh sangat cerdas dan mengenyam Pendidikan yang tinggi justru semakin rentan terhadap tindakan dominasi dan kekerasan sosial, yang kita kenal sebagai bullying? Blankonisme, melihat fenomena ini sebagai krisis kesadaran eksistensial warga negara, di mana manusia modern berpendidikan tinggi kehilangan akar etik budayanya.

Blankonisme hadir sebagai sebuah obat. Ia bukanlah doktrin politik, melainkan filsafat kesadaran kewargaan yang berupaya menjahit dua kutub yang terpisah: nalar kritis Barat dan jiwa arif Nusantara. Blankon, simbol penutup kepala tradisional, dimaknai sebagai penjaga kesadaran yang berfungsi sebagai antidote (obat penawar) terhadap bullying.

Inti dari bullying atau Perilaku agresifdisengaja, dan berulang yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang terhadap orang lain, di mana terdapat ketidak seimbangan kekuasaan atau kekuatan antara pelaku dan korban, dengan tujuan untuk menyakiti, mengintimidasi, atau merugikan korban terletak pada kegagalan Lapisan Sosial (Empatik) dan Lapisan Nalar (Rasional) dalam diri pelaku.

Dari kacamata Blankonisme, bullying adalah manifestasi dari kegagalan melaksanakan prinsip "Tepa Slira" (empati) dan "Ngajeni" (menghormati). Para pelaku bullying telah membiarkan pikiran liar mereka mendominasi tindakannya yang dapat melanggar prinsip rasionalitas yang seharusnya tumbuh di dalam ruang dialog, bukan di dominasi oleh Kebebasan bertindak (Sartre's freedom) yang seharusnya menjadi anugerah justru berubah menjadi kesombongan dalam hal intelektual/ sosial yang melukai kaum sesamanya.

Blankonisme disini mengingatkan: "Kesadaran kewargaan tidak bisa tumbuh di tanah yang kering dari rasa." Bullying adalah bukti bahwa Masyarakat sekitar kita, meski semakin rasional, tetapi telah kehilangan kemampuan untuk "merasakan" posisi korban.

Blankonisme menawarkan tiga ranah praksis untuk mengatasi krisis ini:

Blankon Mindset (Ranah Reflektif): Ini adalah ajakan untuk berhenti sejenak dan berpikir reflektif tentang tanggung jawab moral. Pendidikan harus bergeser dari sekadar menghafal aturan anti-bullying menjadi perenungan nilai. Anak-anak baik pelaku, korban, maupun bystander diajak menyaring pikiran dan emosi mereka, memastikan bahwa nalar mereka digunakan untuk membangun, bukan merusak.

Blankon Dharma (Ranah Aksi): Filsafat harus bertransformasi menjadi "citizenship as compassion in action"/ Kewarganegaraan sebagai Welas Asih dalam Tindakan secara mendalam.. Blankonisme mendorong aksi nyata untuk menciptakan "Rukun" (harmoni sosial). Ini berarti menggerakkan inisiatif Gotong Royong dan Welas Asih dalam komunitas, di mana Saksi Mata) / Pengamat dididik untuk berani mengambil tindakan untuk menolong sesama, mengubah lingkungan yang pasif menjadi komunitas yang suportif.

Blankon Spirit (Ranah Spiritual): Tahap tertinggi ini adalah kesadaran bahwa bullying bukan hanya kejahatan sosial, tetapi juga pelanggaran terhadap keseimbangan batin sosial. Berdasarkan EKSOS Theory (Ekologi, Sosial, Spiritual), menyakiti sesama dipandang sebagai tindakan yang merusak koneksi spiritual dengan seluruh ekosistem kehidupan. Ini mendidik anak untuk melihat orang lain bahkan yang berbeda sebagai bagian integral yang harus dijaga.

Blankonisme, melalui filosofi "menundukkan kepala Adalah agar kebebasan yang dilakukan tidak melukai sesame atau orang lain" adalah sebagai upaya kecil namun sangat mendasar untuk memulihkan wajah-wajah manusia dan warga negara dalam bingkai budaya. Blankonisme adalah ajakan untuk menjadi warga yang berblankon: berpikir jernih, berjiwa tenang, dan bertindak penuh welas asih, sehingga ruang-ruang sosial kembali menjadi tempat yang aman, nyaman dan harmonis.


Postingan Terkait

Cari Blog Ini