Blankonisme VS Budaya Pop
“Blankon bukan hanya kain yang melingkar di kepala, tapi lingkaran kesadaran yang menyatukan masa lalu, masa kini, dan masa depan, serta tentang kesederhanaan, kemurnian, dan kreativitas.” Dari sanalah Blankonisme tumbuh sebagai simbol harmoni antara tradisi dan modernitas antara jiwa yang menunduk dan hati yang terbuka untuk dunia.
Oleh: Nurul Fitria, Mahasiswa RPL Afirmasi PG PAUD 2025 UNIKAMA, TK Walisongo Malang.
Di tengah hiruk-pikuk Kota Malang, lahirlah gerakan seni baru yang bernama Blankonisme. Gerakan seni ini lahir dari semangat anak muda yang ingin menyatukan nilai-nilai tradisi Jawa dengan denyut modernitas budaya pop. Blankon adalah penutup kepala yang khas dari Jawa tidak hanya simbol kebanggaan budaya, tetapi juga lambang spiritualitas dan identitas yang fleksibel dalam menghadapi perubahan zaman.
Blankon juga bukan sekadar gaya berpakaian, melainkan cara berpikir. Bahkan, Blankon sebagai “Mahkota Kesadaran” pengingat agar manusia selalu menundukkan ego dan menghormati akar leluhur.
Untuk mengkolaborasikan Blankonisme dengan budaya pop, maka kita memadukan patung tradisional dengan lampu neon dan musik elektronik. Dari sini kita bisa sampaikan dialog antara masa lalu dan masa kini antara spiritualitas jawa dan dinamika budaya pop global.
Kolaborasi Blankonisme dengan budaya pop kini semakin meluas ke berbagai bidang: musik, fashion, dan media digital. Bahkan para musisi lokal memadukan gamelan dengan beat lo-fi, dan seorang kreator muda mengangkat filosofi eling lan waspada dalam vlog kekinian. Mereka tidak menolak modernitas, melainkan menaklukannya dengan nilai-nilai kearifan lokal.
Dari sudut pandang (exostheory), gerakan ini menjadi bentuk kesadaran kolektif masyarakat terhadap jati dirinya di tengah arus globalisasi. Blankonisme bukan hanya ekspresi estetika, tetapi juga praktik kewarganegaraan spiritual bagaimana individu berperan aktif menjaga nilai budaya dan tetap menjadi warga dunia.

