Blankonisme VS Bantengan
Kelompok Bantengan sering kali mengutamakan solidaritas dan kerukunan antaranggota serta kesenangan masyarakat di atas kepentingan individu atau material, sehingga secara aktif menjalankan tanggung jawab komunal untuk melestarikan warisan budaya lokal.
Oleh : Dwi Puji Astuti, Mahasiswa RPL AFIRMASI 2025 UNIKAMA
Blankonisme berakar kuat sebagai landasan karakter berbudaya dan Kewargaan Welas Asih, terpusat pada konsep Lapisan Sosial (Empatik) dan praktik Kewargaan sebagai Welas Asih (Citizenship as Compassion). Makna utamanya adalah Blankonisme mengajarkan bahwa pembentukan karakter yang berbudaya diwujudkan melalui kesadaran sosial dan empati dalam suasana harmoni (rukun), di mana setiap individu tidak hidup hanya untuk diri sendiri. Sebaliknya, individu terikat dalam tanggung jawab komunitas yang berlandaskan kearifan lokal Nusantara.
Realisasi Blankonisme dalam kehidupan sehari-hari termanifestasi dalam praktik kearifan lokal yang mengajarkan nilai-nilai kolektivitas dan solidaritas sosial secara nyata. Ini mencakup semangat gotong royong—yaitu kerja bersama tanpa memandang perbedaan—serta menjunjung tinggi prinsip musyawarah dan mufakat dalam setiap pengambilan keputusan demi tercapainya kebaikan bersama. Dengan demikian, individu tidak hanya memahami, tetapi juga secara aktif menjalankan perannya sebagai bagian integral dari komunitas. Hal ini menjadikan welas asih sebagai landasan utama interaksi sosial, yang berujung pada terciptanya tatanan masyarakat yang adil, harmonis, dan berkelanjutan di Nusantara.
Melalui permainan-permainan yang menuntut kerja sama tim dan tanggung jawab komunal ini, nilai-nilai luhur Blankonisme diinternalisasi sejak usia dini, membentuk individu yang tidak hanya cakap, tetapi juga memiliki karakter welas asih, rukun, dan berbudaya Nusantara.
Blankonisme, sebagai landasan karakter yang menekankan kesadaran sosial, empati, kolektivitas, dan Kewargaan Welas Asih, terwujud secara nyata dalam praktik kesenian tradisional Bantengan. Kesenian ini, yang berakar kuat pada kearifan lokal Nusantara, merupakan perwujudan kolektif dari prinsip-prinsip tersebut, mulai dari proses persiapan hingga pertunjukannya.
Implementasi Lapisan Sosial (Empatik) terlihat jelas dalam sistem paguyuban Bantengan yang mewajibkan seluruh anggota, mulai dari penabuh gamelan, penari, hingga pawang, untuk berpartisipasi dalam gotong royong secara total tanpa memandang status. Inti dari pertunjukan, yaitu topeng banteng yang dikendalikan oleh dua pemain, menuntut koordinasi, sinkronisasi, dan empati yang sangat tinggi; kegagalan satu pemain akan merusak keseluruhan harmoni, menegaskan pentingnya tanggung jawab kolektif.
Lebih jauh, Bantengan mengajarkan nilai fundamental "Guyup Rukun", yang merupakan praktik utama dari Kewargaan Welas Asih. Kelompok Bantengan sering kali mengutamakan solidaritas dan kerukunan antaranggota serta kesenangan masyarakat di atas kepentingan individu atau material, sehingga secara aktif menjalankan tanggung jawab komunal untuk melestarikan warisan budaya lokal. Dengan demikian, filosofi Blankonisme tidak hanya teoritis, melainkan hidup dan berdenyut dalam denyut nadi seni dan tradisi rakyat.

