2025/11/15

Blankonisme : Peluang dan Tantangan " Hari Pahlawan"



Dari artikel dosen blangkon yang saya baca yaitu “Hari pahlawan dalam Perspektif Blankonisme” terdapat satu kutipan yang menarik perhatian saya yaitu kalimat “Modernitas tanpa budaya adalah kehilangan arah; budaya tanpa refleksi adalah kebekuan”. Kalimat itu saya ambil dari artikel berjudul “Permasalahan budaya di Indonesia: Antara Pemertahanan dan Tantangan Modernitas”.


 Oleh : Kristiana Skolastika Sagum, Mahasiswa STIKES Panti Waluya Malang


Kalimat ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara kemajuan modern (modernitas) dan akar budaya. Keduanya harus berjalan berdampingan agar masyarakat tidak kehilangan jati diri sekaligus tetap berkembang. ” Di zaman sekarang, kita hidup di tengah kemajuan yang luar biasa. Teknologi makin canggih, informasi datang dari segala arah, dan gaya hidup pun berubah cepat. Kita bisa belajar apa saja lewat internet, bekerja dari mana saja. Tapi dibalik semua itu, kadang kita merasa ada yang hilang. Kita maju, tapi seperti nggak tahu arahnya kemana. Kita sibuk tapi nggak tahu apa yang sedang kita perjuangkan. Dari pemahaman saya inilah yang di maksud “modernitas tanpa budaya adalah lehilangan arah.” Kita bisa pintar secarta teknis, tapi kalau nggak tahu akar kita, nilai-nilai kita, kita bisa saja tersesat. Kita jadi ikut arus tren, tapi nggak punya pegangan. Budaya yang seharusnya jadi kompas hidup, malah kita tinggalkan karena dianggap kuno. Di sisi lain, budaya yang di jaga tanpa refleksi juga punya masalah. Banyak tradisi yang masih dilakukan, tapi hanya sebatas rutinitas. Misalnya, upacara adat, tarian tradisional, atau pakaian khas daerah—semua itu masih ada, tapi kadang hanya jadi formalitas. Kita lestarikan, tapi nggak benar-benar kita pahami. Akhirnya budaya itu jadi beku. Ia ada, tapi nggak hidup. Ia hadir, tapi nggak menyentuh. 

Contohnya bisa kita lihat di Kalimantan timur dimana kota itu adalah tempat kelahiran saya. Tetapi saya bukan asli suku di Kaltim, seperti yang ada di kota samarinda ataupun desa yang ada di kecamatan muara wahau salah satunya suku dayak wehea yang masyarakatnya masih mengadakan pesta adat seperti erau, pembersihan kampung, dayung perahu. Acara ini penuh dengan simbol budaya: tarian Dayak, musik tradisional, pakaian adat, dan ritual sakral. Tapi tantangannya adalah bagaimana membuat generasi muda tertarik dan terlibat. 

Banyak anak muda yang merasa budaya itu jauh dari kehidupan mereka sehari-hari. Tapi sekarang mulai muncul harapan, anak-anak muda di Kalimantan Timur terkhusus di kecamatan muara wahau mulai mengemas ulang tradisi lewat media sosial. Mereka merekam prosesi adat, membuat vlog tentang makna pakaian tradisional, dan mengunggahnya ke TikTok atau Instagram. Bahkan ada yang menggabungkan musik tradisional dengan beat modern, menciptakan remix yang tetap menghormati akar budaya tapi terasa segar dan relevan. Ini bukan sekadar dokumentasi, tapi bentuk refleksi. Mereka nggak cuma melestarikan, tapi juga memberi makna baru. 

Konten-konten ini membuat budaya lokal lebih dikenal, bahkan menarik perhatian orang luar Kalimantan Timur. Budaya nggak lagi hanya milik masa lalu, tapi jadi bagian dari masa kini dan masa depan. Inilah yang disebut sebuah kesadaran untuk menjahit modernitas dan budaya jadi satu. Istilah “blankon” sendiri berasal dari penutup kepala tradisional Jawa, simbol kebijaksanaan dan identitas.Tapi dalam konteks ini, Blankonisme bukan soal benda, tapi soal sikap. Ia mengajak kita untuk tetap maju, tapi tetap berakar. 

Untuk tetap kreatif, tapi tetap punya arah. Blankonisme bukan teori rumit. Ia lahir dari keinginan sederhana: agar kita tetap jadi diri sendiri di tengah perubahan. Agar kita punya arah dalam kemajuan, dan memegang dalam pelestarian. Ia mengajak kita untuk berpikir ulang tentang cara kita hidup, belajar, dan berinteraksi dengan dunia. Di Kaltim, kita bisa lihat bentuk Blankonisme dalam banyak hal. Di sekolah, beberapa guru mulai menggabungkan muatan lokal ke dalam pelajaran digital. Siswa belajar tentang budaya Dayak lewat aplikasi interaktif, membuat video dokumenter tentang kampung halaman, dan berdiskusi tentang nilai-nilai adat dalam konteks zaman sekarang. 

Di dunia kuliner, anak muda mulai mengangkat makanan tradisional seperti lemang, ubi tumbuk, sayur rebung atau kue wajik ke media sosial. Mereka bikin konten resep, review makanan khas, bahkan menjual produk lokal lewat e-commerce. Ini bukan cuma soal bisnis, tapi soal identitas dan kebanggaan terhadap warisan kuliner. Di komunitas kreatif, seniman lokal mulai menggabungkan motif Dayak wehea dengan desain grafis modern. Mereka bikin logo, poster, dan karya seni yang mengandung unsur tradisi tapi dikemas dengan gaya kekinian, bahkan beberapa brand lokal menggunakan filosofi adat sebagai nilai inti dalam produk mereka. Semua ini menunjukkan bahwa Blankonisme bukan sekadar wacana, tapi cara hidup yang membumi. Ia hadir dalam keseharian kita, dalam cara kita berpakaian, berkarya, dan berkomunikasi. Ia bukan soal memilih antara masa lalu atau masa depan, tapi soal menyatukan keduanya lewat refleksi.

Kesimpulannya, kata-kata “Modernitas tanpa budaya adalah kehilangan arah; budaya tanpa refleksi adalah kebekuan. Blankonisme menjahit keduanya menjadi kesadaran baru” terasa kuat karena berbicara tentang kita. Ia menyentuh realitas yang kita alami, mengajak kita merenung, dan memberi harapan bahwa kita bisa tetap maju tanpa lupa asal, dan menjaga akar tanpa takut berubah. Di Kalimantan Timur, kita sudah mulai melihat benih-benih kesadaran itu tumbuh lagi. Tinggal bagaimana kita merawatnya, menjahitnya, dan menjadikannya bagian dari hidup kita sehari-hari.


Postingan Terkait

Cari Blog Ini