2025/11/07

Blankonisme : Lensa Ontologis, Epistimologis, Aksiologi


1. Aspek Ontologis — Menyadari yang Tersembunyi di Balik Lipatan

Ontologi Blankonisme berangkat dari kesadaran bahwa hidup manusia adalah perjalanan di antara “tertutup” dan “terbuka.” Sehelai blangkon bukan sekadar penutup kepala, melainkan simbol kesadaran diri yang dikumpulkan, dilipat, dan ditata agar pikiran tidak berhamburan seperti daun kering di musim kemarau.

Dalam ontologi Blankonisme, menutup kepala berarti mengatur semesta batin, menenangkan gemuruh ego agar yang berbicara bukan ambisi, melainkan kesadaran. Blankon menandai eksistensi manusia Jawa yang tidak meletakkan identitasnya di luar diri, tapi di dalam lipatan-lipatan makna. Ia adalah ruang sunyi tempat manusia bertemu dirinya — antara pikir dan rasa, antara nalar dan laku.

Blankonisme melihat keberadaan manusia sebagai makhluk yang tidak selesai pada bentuk, tetapi terus menafsirkan diri melalui simbol, tindakan, dan kebudayaan.


2. Aspek Epistemologis — Pengetahuan dari Lipatan, Bukan dari Buku

Epistemologi Blankonisme tidak lahir dari ruang kuliah yang dingin, melainkan dari warung kopi, dari percakapan yang tulus, dari laku hidup sehari-hari. Pengetahuan dalam Blankonisme tidak hanya dicatat, tetapi dijalani. Ia tidak menuntut sertifikat, tapi ketulusan belajar dari pengalaman.

Dalam epistemologi ini, pengetahuan bukanlah hafalan, melainkan perenungan yang diulang-ulang sampai menjadi kebiasaan berpikir dan bertindak. Blankonisme menolak kesombongan intelektual yang hanya menumpuk teori tanpa mengakar di tanah kehidupan.

Ia lebih percaya pada ngelmu sing ora mung katon, ilmu yang disaring dari pengalaman, disinari oleh refleksi, dan dijaga oleh etika rasa. Maka, setiap lipatan blangkon adalah halaman pengetahuan — tidak tertulis di kertas, tapi di wajah orang yang terus belajar menjadi manusia.


3. Aspek Aksiologis — Nilai dari Kesadaran yang Dijalani

Aksiologi Blankonisme berbicara tentang nilai: apa gunanya menutup kepala bila hati tetap terbuka pada kebaikan. Dalam pandangan ini, nilai hidup bukan diukur dari seberapa tinggi seseorang berpikir, tapi seberapa dalam ia memahami makna keberadaannya di tengah sesama.

Blankonisme memandang bahwa tindakan manusia harus lahir dari keseimbangan antara cipta, rasa, dan karsa. Setiap tindakan sosial, pendidikan, dan kebudayaan mesti berpijak pada kesadaran etis — bahwa menjadi manusia adalah menjadi pengemban harmoni, bukan sekadar pencari makna untuk diri sendiri.

Nilai-nilai dalam Blankonisme adalah ngajeni, ngelingi, lan nguripi — menghormati sesama, mengingat asal, dan menghidupkan kehidupan. Dengan itu, blangkon bukan sekadar benda budaya, tetapi etik hidup: cara berpikir yang santun, cara bertindak yang bijak, dan cara merasa yang penuh welas asih.


Penutup — Dari Kepala ke Kesadaran

Blankonisme bukan ide baru, tapi cara lama yang dilahirkan kembali dalam kesadaran baru. Ia mengajarkan bahwa menutup kepala bukan untuk membatasi pandangan, melainkan untuk membuka mata batin.

Ketika dunia berisik dengan klaim kebenaran, Blankonisme mengajak kita duduk tenang, menata lipatan pikiran, dan kembali mendengar suara paling jujur: suara diri sendiri yang belum sempat bicara.


Postingan Terkait

Cari Blog Ini