2025/11/14

Blankonisme Di Pusaran Modernisme



Kalimat “Dari tanah Nusantara, Blankonisme menimba spirit dari falsafah ngajeni (menghormati), tepa slira (empati), dan rukun (harmoni sosial)”.

Oleh: Holy Dio Elshaday Mahasiswa Stikes Panti Waluya Malang 

Hal diatas mencerminkan gagasan luhur tentang nilai-nilai budaya Jawa yang menuntun manusia untuk hidup saling menghargai dan menjaga keseimbangan sosial. Gagasan ini menggambarkan betapa pentingnya warisan budaya sebagai pedoman moral dalam menghadapi tantangan zaman modern yang penuh dengan kompetisi dan individualisme. 

Dalam kondisi ideal, nilai-nilai tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia sehingga tercipta kehidupan yang damai, penuh tenggang rasa, dan jauh dari konflik. Setiap individu hidup dengan kesadaran untuk menghormati perbedaan, memahami perasaan orang lain, dan mengutamakan kebersamaan di atas kepentingan pribadi.

 Namun dalam kenyataannya, kondisi masyarakat saat ini sering kali jauh dari nilai-nilai ideal itu. Kemajuan teknologi dan gaya hidup modern membuat banyak orang lebih fokus pada pencapaian pribadi daripada kebersamaan. Sikap empati mulai berkurang, sementara rasa hormat terhadap sesama sering terabaikan. 

Jurang antara kondisi ideal dan kenyataan ini menjadi tanda bahwa kita semakin menjauh dari akar budaya yang seharusnya menjadi panduan moral. Nilai ngajeni, tepa slira, dan rukun kini lebih banyak menjadi slogan daripada tindakan nyata. 

Saya sependapat dengan gagasan tersebut karena budaya Jawa mengajarkan keseimbangan hidup yang sangat relevan dengan situasi masyarakat masa kini yang sering diwarnai persaingan dan konflik sosial. 

Oleh karena itu, sudah saatnya kita menghidupkan kembali semangat falsafah Jawa tersebut dalam kehidupan modern. Dengan menanamkan nilai menghormati, berempati, dan menjaga kerukunan, kita tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga membangun masyarakat yang damai, beradab, dan harmonis demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Postingan Terkait

Cari Blog Ini