2025/11/17

Blankonisme : Asah Kompas


 Dari artikel blankon:tentang filsafat kesadaran kewargaan dari Nusantara.terdapat satu kutipan yang menarik Kalimat yang paling menarik dan merangkum keseluruhan filosofi Blankonisme adalah:“Filsafat Barat mengajarkan manusia berpikir bebas. Filsafat Nusantara mengajarkan manusia menundukkan kepala agar bebasnya tidak melukai sesama.”

oleh:Daniela Isadora Penina Weo Landa

Mahasiswa stikes panti Waluya Malng


Berdasarkan kutipan mengenai "Blankonisme: Filsafat Kesadaran Kewargaan dari Nusantara," yang dicetuskan oleh Engelbertus Kukuh Widijatmoko, terdapat satu kalimat yang sangat menarik dan mendalam yang berfungsi sebagai tesis utama dari keseluruhan gagasan tersebut. Kalimat tersebut adalah: “Filsafat Barat mengajarkan manusia berpikir bebas. Filsafat Nusantara mengajarkan manusia menundukkan kepala agar bebasnya tidak melukai sesama.”

 Kalimat ini dipilih karena ia berhasil merumuskan secara puitis sekaligus filosofis tantangan terbesar kewargaan modern, yaitu bagaimana mengintegrasikan kebebasan individu yang kritis dengan tanggung jawab sosial yang berlandaskan kearifan lokal. 

Di satu sisi, filsafat Blankonisme mengakui pentingnya rasionalitas dan eksistensialisme Barat yang menuntut manusia untuk kritis dan bebas menentukan makna hidupnya, sebuah prinsip yang esensial bagi tumbuhnya demokrasi dan kemajuan intelektual. 

Namun, di sisi lain, Blankonisme memberikan koreksi etis yang tegas melalui jiwa Nusantara: kebebasan yang tidak dibatasi oleh rasa atau kepekaan batin hanya akan menghasilkan kesombongan intelektual dan anarki sosial. 

Oleh karena itu, frasa "menundukkan kepala" menjadi metafor budaya yang kuat; ia bukanlah simbol kepasrahan atau ketidakberdayaan, melainkan wujud andhap asor (rendah hati) dan tepa slira (empati) yang harus mendahului setiap tindakan bebas.

Relevansi filosofis Blankonisme sangat mendesak bagi warga negara Indonesia saat ini, terutama dalam menghadapi dinamika digital dan polarisasi sosial yang semakin akut.

 Era modernitas telah memberikan platform yang tak terbatas bagi warga untuk "berpikir bebas" melalui media sosial, namun kebebasan ini sering kali dieksekusi secara liar, mengubah ruang publik digital menjadi medan pertempuran verbal yang penuh dengan ujaran kebencian, hoaks, dan perundungan siber.

 Dalam konteks ini, kebebasan yang seharusnya menjadi anugerah telah berubah menjadi "kebebasan yang melukai" sesama. 

Warga negara dengan mudah menyebarkan disinformasi tanpa verifikasi kontekstual, atau menggunakan nalar kritis mereka sebagai senjata untuk merendahkan martabat kelompok lain, baik itu berdasarkan perbedaan politik, agama, maupun latar belakang budaya. Hal ini menunjukkan adanya krisis kesadaran eksistensial, di mana pendidikan kewarganegaraan hanya berhenti pada hafalan hak, bukan pada penghayatan tanggung jawab etis.

Penerapan prinsip "menundukkan kepala" dalam kehidupan warga negara Indonesia kontemporer dapat dilihat melalui tiga lapisan praksis Blankonisme. Pertama, pada Lapisan Nalar (Blankon Mindset), warga diajak untuk mengaktifkan filter budaya sebelum bertindak di ranah digital. 

Prinsip kritis-rasional dari Barat tetap digunakan untuk memverifikasi sumber dan informasi, namun ia harus diperkuat oleh kesadaran bahwa pikiran yang liar dan tidak terkontrol akan merusak rukun (harmoni sosial). Jika dihadapkan pada berita yang memicu amarah, warga yang berblankon akan mengambil jeda reflektif (civic reflection) untuk bertanya, "Apakah konten ini bertujuan untuk mencerahkan atau hanya memicu perpecahan?"

Kedua, pada Lapisan Sosial (Blankon Dharma), "menundukkan kepala" berarti mempraktikkan Digital Tepa Slira. Contohnya, dalam perdebatan politik, s eorang warga yang kritis tentu bebas mengkritik kebijakan pemerintah atau tokoh publik, namun ia harus melakukannya dengan welas asih (compassion) dan andhap asor. 

Alih-alih meluncurkan serangan personal atau merendahkan lawan bicara, warga negara berblankon memprioritaskan dialog yang beradab—mereka bersikap keras terhadap ide, tetapi lembut terhadap orangnya. Tindakan menahan diri dari mengetik komentar yang destruktif adalah bentuk nyata dari filsafat Nusantara, di mana menjaga keseimbangan batin kolektif lebih utama daripada memenangkan argumen pribadi. Dengan demikian, kebebasan berpikir dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu perdebatan publik, bukan untuk merobek tenun kebangsaan.

Ketiga, pada Lapisan Spiritual (Blankon Spirit), kesadaran ini diangkat ke tingkat tertinggi. "Menundukkan kepala" adalah pengakuan bahwa setiap warga negara adalah bagian dari ekosistem kehidupan yang lebih besar, sebagaimana ditegaskan dalam EKSOS Theory (Ekologi, Sosial, Spiritual). 

Dalam konteks Indonesia yang majemuk, penerapan ini berarti menyadari bahwa tindakan intoleransi atau ujaran kebencian tidak hanya melukai sesama manusia, tetapi juga merusak makna spiritual dari persatuan yang diwariskan oleh leluhur. Oleh karena itu, Blankonisme tidak hanya menuntut warga menjadi manusia yang pandai, tetapi juga manusia yang sadar—sadar akan relasinya dengan alam, sesama, dan Sang Pencipta. 

Transformasi ini mengubah warga negara dari sekadar Warga Kritis-Individualistik menjadi Warga Kritis-Kompasif; dari yang hanya menuntut hak menjadi yang memikul tanggung jawab moral untuk menjaga ketenangan (tentreming urip).

Pada akhirnya, kalimat kunci Blankonisme ini menawarkan sebuah kompas moralitas yang sangat berharga bagi Indonesia. Ia menegaskan bahwa modernitas dan kearifan lokal bukanlah dua jalur yang terpisah, melainkan harus dijalin menjadi satu kesadaran baru. 

Dengan menundukkan kepala, warga negara Indonesia belajar bahwa kebebasan sejati ditemukan dalam pengendalian diri, dan bahwa nalar kritis akan mencapai kemuliaan tertinggi ketika ia digunakan sebagai alat untuk mengayomi, bukan untuk melukai. 

Blankonisme adalah upaya filosofis kecil namun penting untuk menjaga kepala tetap menunduk ketika dunia semakin meninggi, memastikan bahwa semangat Bhinneka Tunggal Ika tetap berakar kuat di tengah pusaran global.


Postingan Terkait

Cari Blog Ini