2025/11/12

Blangkonisme VS Topi Tionghoa

 

Tanah Airku Indonesia” , penggalan lagu yang sering kita dengar itu merupakan ungkapan rasa cinta kepada negara Indonesia yang penuh dengan keberagaman serta dikenal sebagai negeri dengan kekayaan budaya yang luar biasa.


Oleh : Dewi Sri Utamie, Mahasiswa RPL Afirmasi PG Paud 2025 Unikama, TK Bina Budi Mulia Malang.

Blankonisme bagi saya memberikan wawasan baru khususnya blangkon. Ada hal meranin darin blangkon ketika dikaitkan dengan Topi Tionghoa. 

 Setiap suku memiliki keunikannya masing-masing, baik itu bahasa, pakaian adat, dan simbol khasnya. Dua budaya yang sering hidup berdampingan di banyak daerah di Indonesia adalah Budaya Jawa dan Budaya Tionghoa. Meskipun berasal dari akar yang berbeda, keduanya memiliki kesamaan yaitu menjunjung nilai kesopanan, hormat kepada orang tua, dan cinta akan tradisi.

Salah satu simbol budaya Jawa yang menarik adalah blangkon, penutup kepala khas pria Jawa. Sementara dalam budaya Tionghoa, terdapat topi tradisional berwarna merah atau emas yang sering digunakan dalam perayaan penting seperti Tahun Baru Imlek. Apabila dua simbol ini dikolaborasikan, kita bisa belajar banyak tentang makna, nilai, dan keindahan keberagaman.


“Blangkon” bukan sekadar penutup kepala. Dalam budaya Jawa, blangkon melambangkan kedisiplinan, kesopanan, dan tanggung jawab. Pola lipatan di belakang disebut mondholan, yang melambangkan pengendalian diri dan kemampuan menahan hawa nafsu. Blangkon juga menjadi simbol bahwa setiap laki-laki Jawa harus berpikir dengan kepala dingin dan hati yang tenang. Blangkon biasanya dibuat dari kain batik—kain yang sarat makna filosofis. Setiap motif menggambarkan nilai kehidupan: kesetiaan, keteguhan hati, dan harapan akan kebahagiaan.

Dalam budaya Tionghoa, warna dan bentuk memiliki makna yang mendalam. “Topi merah” sering dipakai saat perayaan Imlek sebagai simbol kebahagiaan, keberuntungan, dan semangat baru. Warna emas pada pinggirannya melambangkan kemakmuran dan kehormatan.Selain itu, mengenakan topi atau penutup kepala juga merupakan bentuk rasa hormat kepada leluhur dan orang yang lebih tua. Hal ini menunjukkan bahwa baik budaya Jawa maupun Tionghoa sama-sama menempatkan nilai sopan santun dan penghargaan terhadap tradisi sebagai hal yang utama.

Sungguh indah jika dua simbol ini disatukan “blangkon bermotif batik” dengan sentuhan warna merah dan emas khas Tionghoa. Kombinasi ini bukan hanya menarik secara visual, tetapi juga menjadi simbol harmoni antara dua budaya besar yang sudah lama hidup berdampingan di Indonesia.Blangkon dengan sentuhan warna cerah bisa menjadi lambang persahabatan, kesatuan, dan cinta budaya. Anak-anak bisa diajak membuat karya seni seperti “blangkon merah emas”, untuk mengenalkan bahwa keindahan tidak hanya lahir dari satu budaya, tapi dari saling menghargai perbedaan.

Tanggung jawab kita untuk mengenalkan akan pentingnya keberagaman dengan kolaborasi budaya Jawa dan Tionghoa sebagai bahan pembelajaran berharga di PAUD.banyak manfaat dari kegiatan ini seperti: Mengenal keberagaman – Anak belajar bahwa setiap budaya punya keunikan. Menumbuhkan toleransi – Anak memahami bahwa berbeda bukan berarti tidak bisa bersama. Melatih kreativitas – Anak bisa mengekspresikan ide melalui seni budaya gabungan (mewarnai blangkon merah, membuat topi batik, dsb). Menanamkan rasa bangga – Anak belajar mencintai budaya Indonesia yang penuh warna.

“Blangkon dan topi Tionghoa” adalah dua simbol dari dua budaya yang berbeda, namun memiliki semangat yang sama yaitu menjaga tradisi, menghormati orang tua, dan membawa kebaikan.

Melalui kolaborasi budaya seperti ini, anak-anak dapat belajar sejak dini bahwa perbedaan bukan alasan untuk membuat jarak, melainkan kesempatan untuk saling mengenal dan menghargai.

Blankonisme memberikan warna baru, 

“Berbeda warna, berbeda bentuk, tapi satu dalam harmoni Indonesia.”

Postingan Terkait

Cari Blog Ini