2025/10/06

Tokoh Konflik Sosial Tiga Fase



Konflik sosial merupakan denyut nadi dari setiap peradaban manusia. Ia bukan sekadar peristiwa benturan kepentingan, tetapi juga cermin dari dinamika nilai, kekuasaan, dan struktur sosial yang terus berubah seiring waktu. Dalam sejarah pemikiran sosial di Eropa, teori konflik menempati posisi sentral dalam memahami bagaimana masyarakat bergerak, berubah, dan menata ulang dirinya. Sejak masa klasik hingga postmodern, para pemikir sosial berupaya menafsirkan hakikat konflik: apakah ia sumber kehancuran, atau justru motor kemajuan sosial. Setiap fase sejarah pemikiran—klasik, modern, dan postmodern—menawarkan horizon teoritis yang khas, berakar pada konteks sosial, ekonomi, dan budaya zamannya.


Pada fase klasik, konflik dipahami sebagai konsekuensi dari ketimpangan ekonomi dan struktur kelas yang menandai lahirnya masyarakat industri di Eropa. Pemikiran Karl Marx, Friedrich Engels, dan para sosiolog seperti Max Weber atau Georg Simmel menegaskan bahwa konflik merupakan bagian tak terhindarkan dari proses sosial yang mendorong perubahan dan reformasi. Memasuki fase modern, konflik tidak lagi dipahami secara semata struktural, melainkan juga sebagai fenomena ideologis dan kultural. Pemikir seperti Ralf Dahrendorf, Antonio Gramsci, dan Pierre Bourdieu memperluas perspektif dengan menyoroti relasi kekuasaan, simbol, dan hegemoni budaya.


Adapun pada fase postmodern, teori konflik bergeser dari materialisme menuju dekonstruksi makna. Michel Foucault, Zygmunt Bauman, Jean-François Lyotard, dan Nancy Fraser menggambarkan konflik sebagai pertarungan wacana, identitas, dan pengakuan. Dalam pandangan mereka, kekuasaan tidak lagi terpusat pada negara atau kelas, melainkan menyebar dalam jaringan bahasa, media, dan relasi sosial yang cair. Pergeseran dari konflik struktural menuju konflik simbolik ini mencerminkan transformasi epistemologis dalam ilmu sosial kontemporer.


Kajian ini berupaya menelusuri jejak intelektual para pemikir Eropa yang berpengaruh dalam pembentukan teori konflik sosial berdasarkan tiga fase utama: klasik, modern, dan postmodern. Setiap fase diuraikan melalui pemikiran sepuluh tokoh kunci beserta kutipan esensial yang merefleksikan gagasan mereka. Melalui penelusuran ini, diharapkan pembaca memahami bahwa teori konflik bukanlah warisan masa lalu yang statis, melainkan medan dialektika yang terus hidup, menafsirkan ulang makna perjuangan manusia dalam menghadapi ketimpangan dan perubahan sosial.


Fase Klasik: Akar Struktural Konflik Sosial

Fase klasik teori konflik sosial di Eropa berakar pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, masa di mana industrialisasi, kolonialisme, dan modernitas awal melahirkan kesenjangan sosial yang tajam. Karl Marx (Jerman) menjadi poros utama dengan gagasannya bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Ia menulis, “The history of all hitherto existing society is the history of class struggles,” menegaskan bahwa konflik antara borjuis dan proletar adalah motor perubahan sosial. Friedrich Engels, rekan Marx, memperluas analisis itu dengan menyoroti penderitaan kelas pekerja akibat sistem industri kapitalis, sebagaimana dijelaskan dalam The Condition of the Working Class in England. Dari perspektif sosiologis, Émile Durkheim (Prancis) memandang konflik sebagai akibat melemahnya solidaritas sosial dan munculnya kondisi anomie, yakni dislokasi moral yang memicu ketegangan sosial. Max Weber (Jerman) memperluas ranah konflik tidak hanya dalam dimensi ekonomi, tetapi juga otoritas dan status; ia menulis bahwa “the distribution of power within a community is always a matter of conflict.”


Sementara itu, Georg Simmel menyoroti konflik sebagai unsur normal dalam hubungan sosial; ia berpendapat bahwa pertentangan justru menjaga vitalitas masyarakat. Ludwig Gumplowicz (Polandia-Austria) menekankan konflik etnis dan rasial sebagai sumber pembentukan negara, dengan mengatakan bahwa negara lahir dari “inevitable confrontation rather than unity.” Vilfredo Pareto (Italia) melihat konflik antara elit dan massa sebagai siklus kekuasaan yang terus berulang dalam sejarah. Herbert Spencer (Inggris), melalui prinsip evolusi sosial, menafsirkan konflik sebagai bentuk seleksi sosial yang mempertahankan yang paling adaptif. Antonio Labriola menegaskan pentingnya kesadaran kelas dalam memahami sejarah sosial, sedangkan Werner Sombart menyoroti dinamika kapitalisme yang memunculkan kontradiksi antara nilai ekonomi dan nilai spiritual. Fase klasik ini menggambarkan konflik sosial sebagai fenomena struktural dan historis yang melekat pada tatanan ekonomi dan politik masyarakat modern awal.


Fase Modern: Institusionalisasi dan Ideologisasi Konflik


Memasuki pertengahan abad ke-20, teori konflik sosial di Eropa mengalami transformasi dari pendekatan struktural menjadi pendekatan institusional dan ideologis. Ralf Dahrendorf (Jerman-Inggris) menjadi figur sentral dengan konsep authority relations yang menegaskan bahwa konflik tidak hanya bersumber dari kepemilikan ekonomi, tetapi juga dari distribusi otoritas. Ia menyatakan, “Class conflict in modern society is not merely about wealth but about control of authority.” Lewis A. Coser, meski berbasis di Amerika namun terpengaruh oleh tradisi Eropa, memandang konflik sebagai mekanisme integrasi sosial yang mencegah stagnasi. Immanuel Wallerstein (Belanda) memperkenalkan World-System Theory, yang menempatkan konflik sosial dalam konteks global antara negara pusat dan pinggiran dalam sistem kapitalisme dunia.


Kontribusi penting datang pula dari Antonio Gramsci (Italia) melalui konsep hegemoni, yaitu dominasi ideologis kelas penguasa atas kesadaran masyarakat. Ia menulis bahwa “The supremacy of a social group manifests itself in two ways: as domination and as intellectual and moral leadership.” Pierre Bourdieu (Prancis) kemudian membawa analisis konflik ke ranah simbolik, dengan konsep habitus dan capital (ekonomi, sosial, budaya, simbolik) yang menciptakan arena perjuangan sosial. Norbert Elias (Jerman) menyoroti konflik sebagai bagian dari civilizing process yang menuntun perubahan perilaku dan kekuasaan sosial secara bertahap. Georg Lukács (Hungaria) menekankan konflik kesadaran kelas dalam kapitalisme modern, sedangkan Hannah Arendt (Jerman) melihat konflik sebagai ekspresi politik antara tindakan bebas dan totalitarianisme. Herbert Marcuse dan Theodor Adorno dari Mazhab Frankfurt menyoroti konflik budaya dan ideologi yang lahir dari masyarakat industri maju, di mana kesadaran kritis tumpul akibat dominasi industri budaya. Fase modern ini memperlihatkan bahwa konflik sosial tidak lagi terbatas pada kelas, melainkan menjangkau bidang ideologi, budaya, dan sistem pengetahuan.



Fase Postmodern: Dekonstruksi, Identitas, dan Wacana Kekuasaan


Dalam fase postmodern, teori konflik sosial Eropa menempuh arah yang lebih reflektif dan dekonstruktif. Michel Foucault (Prancis) mengguncang paradigma klasik dengan menegaskan bahwa kekuasaan tersebar dalam wacana dan praktik sosial; baginya, “Where there is power, there is resistance.” Konflik sosial tidak lagi dipahami sebagai benturan struktur ekonomi, tetapi sebagai pergulatan makna dan pengetahuan dalam jaringan kekuasaan. Jean-François Lyotard (Prancis) menolak narasi besar yang mendominasi modernitas dan menyatakan bahwa “Postmodern knowledge is skeptical of totalizing metanarratives.” Zygmunt Bauman (Polandia-Inggris) menulis tentang “modernitas cair” di mana konflik lahir dari ketidakpastian dan fluiditas identitas dalam masyarakat global.


Sementara itu, Judith Butler (Inggris) melihat konflik gender sebagai hasil dari norma sosial yang memaksa performativitas tertentu; perlawanan muncul melalui subversi identitas. Stuart Hall (Inggris) menyoroti konflik budaya dan identitas dalam masyarakat multikultural, terutama melalui wacana media dan ras. Nancy Fraser (Jerman-AS) menawarkan perspektif ganda konflik keadilan: redistribution (ekonomi) dan recognition (identitas), dengan menulis bahwa “Justice today requires both redistribution and recognition.” Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (Inggris/Belgia) mengembangkan teori hegemoni baru, melihat konflik sebagai pertempuran diskursif yang membentuk identitas politik. Gilles Deleuze dan Félix Guattari memandang konflik sebagai proses becoming, di mana resistensi terjadi dalam aliran energi dan keinginan yang melampaui struktur tetap. Akhirnya, Slavoj Žižek (Slovenia) menggabungkan psikoanalisis dan Marxisme untuk menjelaskan konflik antara ideologi dan realitas simbolik dalam budaya konsumsi modern.


Fase postmodern ini menandai pergeseran besar: konflik sosial bukan lagi soal siapa melawan siapa, melainkan tentang bagaimana makna, identitas, dan kekuasaan saling bernegosiasi dalam ruang diskursif yang cair. Konflik tidak pernah usai; ia hanya berganti bentuk, dari perlawanan fisik menuju pertarungan simbolik.


Simpulan Umum


Dari fase klasik hingga postmodern, teori konflik sosial di Eropa menunjukkan evolusi konseptual yang luar biasa: dari konflik kelas menuju konflik makna. Jika Marx dan Engels menegaskan struktur ekonomi sebagai sumber konflik, maka Foucault dan Fraser menyoroti wacana dan identitas sebagai medan baru perjuangan sosial. Transformasi ini menunjukkan bahwa konflik bukanlah penyakit sosial, melainkan energi dialektis yang memastikan dinamika dan perubahan masyarakat manusia.



Postingan Terkait

Cari Blog Ini