2025/10/20

Konteks Sosial-Ekonomi Indonesia: EKSOS Theology of Watchfulness

 Membaca Lukas 12:35–38 

Pendahuluan


Perintah Yesus dalam Lukas 12:35–38, “Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala,” bukan hanya panggilan spiritual pribadi, melainkan juga panggilan sosial bagi masyarakat yang sedang berjuang di tengah ketimpangan ekonomi dan krisis kemanusiaan.

Dalam konteks Indonesia, ayat ini mengandung gema kuat: menjadi bangsa yang berjaga — bukan sekadar menunggu datangnya berkat, tetapi bekerja dalam kesadaran, solidaritas, dan tanggung jawab sosial.


EKSOS THEORY menafsirkan “berjaga” sebagai gerak eksistensial dan sosial: menjaga kesadaran diri (eksistensi) agar tidak tenggelam dalam sistem ekonomi yang meninabobokan, dan menjaga pelita sosial (solidaritas) agar tetap menyala dalam masyarakat yang terpecah oleh kesenjangan.

Di sinilah iman bertemu dengan realitas: bukan iman yang melayang di langit, tetapi iman yang menjejak di tanah pasar, sawah, pabrik, dan jalanan.


1. Dimensi Eksistensial: Sadar di Tengah Struktur Ekonomi yang Melenakan

Indonesia tengah hidup di antara paradoks.

Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi meningkat; di sisi lain, jurang sosial semakin lebar.

Banyak yang sibuk mengejar kenaikan status, tapi kehilangan makna eksistensi.

Gaya hidup konsumtif, budaya instan, dan tekanan sistem kerja membuat manusia modern hidup otomatis — bangun, bekerja, membeli, lelah, tidur, dan lupa berjaga.


Bronfenbrenner mengingatkan bahwa struktur mikro (keluarga, sekolah, komunitas) dan makro (sistem ekonomi, kebijakan negara) saling berinteraksi membentuk perilaku manusia (Bronfenbrenner, 1979).

Dalam kacamata EKSOS, struktur ekonomi neoliberal yang menekankan kompetisi dan produktivitas sering mengikis kesadaran eksistensial — manusia menjadi alat produksi, bukan pribadi yang bermakna.


Yesus mengajak, “Ikatlah pinggangmu” — artinya sadarlah, siagalah, jangan kehilangan jati dirimu dalam sistem yang menstandarkan segalanya pada angka.

Berjaga berarti menolak tunduk pada arus materialisme, dan menemukan kembali nilai diri sebagai manusia yang bermakna bukan karena apa yang dimiliki, melainkan karena siapa dirinya di hadapan Tuhan dan sesama.


2. Dimensi Sosial: Pelita yang Menyala di Tengah Ketimpangan

Pelita yang menyala adalah simbol solidaritas sosial — terang kecil yang menghangatkan ruang sekitar.

Indonesia sedang berjuang melawan ketimpangan sosial-ekonomi yang melebar.

Data BPS menunjukkan 10% kelompok atas menguasai lebih dari separuh aset nasional, sementara jutaan pekerja informal bertahan dalam ketidakpastian.

Dalam situasi ini, pesan Yesus menjadi seruan profetik: “Hendaklah pelitamu tetap menyala.”

Artinya, jangan biarkan empati padam di tengah struktur sosial yang gelap.


Durkheim (1912) menekankan bahwa fungsi agama adalah membangun kohesi sosial, bukan sekadar ritual pribadi.

Namun, di tengah masyarakat pasar bebas, nilai kohesi itu mulai pudar — gotong royong melemah, individualisme menguat.

EKSOS Theology memanggil Gereja dan umat untuk menghidupkan kembali pelita solidaritas: menjadi terang dalam dunia kerja yang tidak adil, dalam kebijakan ekonomi yang tidak berpihak, dan dalam ruang publik yang kehilangan nurani.


Setiap tindakan sosial — membantu tetangga, memberdayakan UMKM, mendukung ekonomi rakyat, mengajar di pelosok, atau menanam pohon — adalah bentuk konkret dari pelita yang menyala.

Itu bukan sekadar amal, tetapi aksi EKSOS: iman yang bergerak dalam kesadaran sosial.


3. Dimensi Transformatif: Iman sebagai Energi Sosial Pembebasan

Yesus dalam perumpamaan itu melakukan sesuatu yang mengejutkan:

Ia berbalik dan melayani para hambanya (Luk 12:37).

Inilah revolusi sosial yang paling lembut — ketika yang berkuasa menjadi pelayan, ketika yang di atas turun merendah.


Freire (1970) menyebut tindakan ini sebagai praxis pembebasan: refleksi dan aksi yang menumbuhkan kesadaran kritis terhadap struktur yang menindas.

Dalam konteks Indonesia, praxis iman berarti menjadikan komunitas beriman sebagai agen pembebasan sosial: membangun kesadaran kritis terhadap kemiskinan struktural, ketidakadilan gender, eksploitasi buruh, dan rusaknya ekologi.


EKSOS memandang tindakan Yesus ini sebagai titik pertemuan antara eksistensi dan sosialitas.

Ketika iman diwujudkan dalam pelayanan yang meruntuhkan hierarki, maka struktur sosial yang kaku mulai dilunakkan oleh kasih.

Itulah momen “berjaga” yang sejati: ketika kesadaran spiritual mengubah struktur sosial-ekonomi dari dalam — bukan melalui kekuasaan, tapi melalui cinta yang bekerja.


Kesimpulan

EKSOS Theology of Watchfulness mengajak umat Katolik Indonesia untuk memahami “berjaga” bukan sebagai sikap pasif menunggu keselamatan, tetapi sebagai kewaspadaan eksistensial dan sosial di tengah ketimpangan ekonomi.

Dalam masyarakat yang diatur oleh pasar dan algoritma, berjaga berarti tetap manusiawi, tetap solider, dan tetap beriman.


Bronfenbrenner mengingatkan bahwa iman harus peka terhadap ekosistem sosial tempat ia hidup.

Freire menuntun agar iman menjadi praksis pembebasan yang kritis dan reflektif.

Durkheim menegaskan pentingnya iman sebagai perekat sosial.

Dan EKSOS THEORY merangkum semuanya dalam satu arah:

Iman yang berjaga adalah iman yang sadar akan eksistensinya, peka terhadap struktur sosial, dan berani menyalakan pelita kasih di tengah ketimpangan ekonomi.


Maka tugas Gereja di Indonesia bukan hanya membangun altar, tetapi menyalakan pelita di struktur sosial-ekonomi bangsa.

Sebab di sanalah Tuhan mengetuk: di pasar tradisional yang kehilangan pembeli, di buruh harian yang gajinya tak cukup, di anak muda yang kehilangan makna, dan di petani yang tanahnya tergusur.


Dan Ia berkata lembut:

Berbahagialah kamu yang tetap berjaga, sebab Aku datang dalam wajah mereka.” ✨


Postingan Terkait

Cari Blog Ini