2025/10/29

Konflik Sosial Antara Pengajar Tilawati dan Proses Pembelajaran Al-Qur’an

 

Oleh : Iis Nurlita, Mahasiswa Prodi PPKN UNIKAMA


Pengajar Tilawati adalah sosok pendidik Al-Qur’an yang mengajarkan bacaan, tajwid, dan adab melalui metode Tilawati sebuah sistem pembelajaran Al-Qur’an yang menekankan keseimbangan antara teori dan praktik. Mereka berperan penting dalam menumbuhkan kecintaan terhadap Al-Qur’an, membimbing santri agar mampu membaca dengan tartil, serta menanamkan nilai-nilai akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di balik peran mulianya, terdapat dinamika sosial yang kompleks antara pengajar Tilawati dan lingkungan pendidikan keagamaan tempat mereka bernaung.


Gagasan :Konflik sosial antara pengajar tilawati dan proses pembelajaran Al-Qur’an merupakan manifestasi dinamika sosial di lembaga pendidikan keagamaan yang muncul akibat perbedaan orientasi, metode, dan pengakuan sosial terhadap pengajar tilawati. Meskipun pengajar tilawati memiliki peran yang sama dalam mentransfer nilai agama, perbedaan dalam status, metode pengajaran, dan sistem apresiasi menimbulkan ketegangan sosial yang tersembunyi dalam lingkungan madrasah dan majelis. Konflik ini menunjukkan bahwa setiap bentuk pengajaran agama memiliki potensi gesekan, tetapi juga peluang untuk memperkuat kualitas pendidikan keagamaan dan membangun komunitas yang inklusif.


 Alasan

1.Perbedaan dasar status sosial pengajar tilawati

   Pengajar tilawati sering kali diposisikan sebagai “tenaga bantu” atau “pendamping” dalam pendidikan Al-Qur’an, sedangkan guru reguler atau ustadz/ustadzah dianggap sebagai “utama”. Hal ini dapat menimbulkan pandangan bahwa pengajar tilawati memiliki status yang lebih rendah dalam hierarki pendidikan keagamaan.


2.Perbedaan orientasi dan tujuan pengajaran

   Pengajar tilawati fokus pada pengajaran bacaan dan tajwid Al-Qur’an, penanaman adab santri, serta penguatan spiritual individu. Sementara itu, program pendidikan formal keagamaan mungkin lebih mengutamakan aspek akademik, lomba, prestasi, dan sertifikasi. Perbedaan orientasi ini dapat memicu ketidakselarasan ekspektasi antara lembaga, pengajar, dan orang tua santri.


3.Perbedaan sumber daya dan apresiasi sosial

   Beberapa majelis atau lembaga pendidikan keagamaan memiliki dana dan fasilitas yang memadai, memberikan tunjangan atau penghargaan kepada pengajar tilawati. Namun banyak juga yang operasionalnya sederhana, tanpa penghargaan formal atau pengakuan publik. Kesenjangan ini dapat menimbulkan rasa kurang dihargai di antara pengajar tilawati.


4.Perbedaan struktur organisasi dan komunikasi

   Pengajar tilawati kerap berada dalam struktur yang kurang formal dibanding guru utama. Kurangnya wadah komunikasi dan kolaborasi antara pengajar tilawati dengan pihak pengajar utama atau lembaga dapat memperkuat stereotip negatif, misalnya pengajar tilawati dianggap “kurang profesional” atau “hanya pengaji tambahan”.


 Rumusan

Dalam konteks sosial konflik ini berakar pada perbedaan akses terhadap pengakuan, sumber daya, dan metode pengajaran. Lembaga yang memiliki sumber daya berlebih cenderung memberikan tunjangan, sertifikasi, dan penghargaan kepada pengajar tilawati, sementara lembaga dengan keterbatasan memilih pengajar tilawati secara “sukarela” tanpa pengakuan formal. Situasi ini menciptakan konflik sosial di lingkungan pendidikan keagamaan, dimana pengajar tilawati kadang merasa kurang dihargai dan kurang terlibat dalam kebijakan pendidikan keagamaan.

Konflik ini tidak selalu bersifat destruktif atau merusak. Dalam kerangka teori konflik modern seperti yang dikemukakan oleh Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf, perbedaan ini justru dapat menjadi sarana untuk memperkuat identitas kelompok, memunculkan refleksi kualitas, dan mendorong perbaikan sistem pendidikan tilawati.


 Uraian

Faktor-faktor yang mengakibatkan konflik sosial di pengajar tilawati

Faktor ekonomi: Beberapa pengajar tilawati mendapatkan honorarium atau insentif, sedangkan yang lain bekerja secara sukarela atau dibayar sangat minimal.

Faktor pendidikan/keahlian: Pengajar tilawati yang memiliki pelatihan formal atau sertifikasi sering mendapatkan pengakuan yang lebih baik dibanding yang hanya belajar informal.

Faktor sosial-budaya: Pandangan masyarakat atau orang tua santri terhadap pengajar tilawati yang dianggap “pengajar kecil” atau “tamabahan” dapat menciptakan kesenjangan simbolik.

Faktor organisasi: Struktur majelis atau lembaga tempat pengajar tilawati bekerja cenderung lebih fleksibel dan tidak formal dibanding lembaga pendidikan keagamaan formal.

Faktor komunikasi: Kurangnya interaksi dan koordinasi antara pengajar tilawati dengan guru utama, ustadz/ustadzah, dan pengurus lembaga sering memperkuat stereotip negatif dan menghambat integrasi peran.


 Dampak

Dampak negatif

* Muncul jarak sosial antara pengajar tilawati dan guru utama atau lembaga, sehingga pengajar tilawati merasa kurang dihargai.

* Rasa minder atau rendah diri di antara pengajar tilawati karena kurangnya pengakuan.

* Potensi konflik interpersonal atau isolasi sosial dalam komunitas pendidikan keagamaan.

Manfaat positif

* Konflik ini dapat memicu motivasi untuk meningkatkan kualitas pengajaran tilawati: metode, teknik bacaan, penguasaan tajwid, bahkan penggunaan media digital.

* Mendorong terbentuknya identitas kelompok pengajar tilawati yang lebih kuat dan kesadaran akan hak dan peran mereka dalam pendidikan keagamaan.

* Membuka peluang kolaborasi antar pengajar tilawati dengan guru utama atau lembaga, misalnya dalam program gabungan tilawati–qira’ah, pelatihan bersama, atau festival Al-Qur’an.


 Ajakan

Konflik antara pengajar tilawati dan proses pembelajaran Al-Qur’an seharusnya tidak menjadi pemisah, tetapi jembatan menuju sinergi pendidikan keagamaan yang inklusif. Pengajar tilawati memiliki nilai dan kontribusi unik dalam mentransfer bacaan Al-Qur’an, penanaman adab, dan penguatan spiritual generasi muda.

Mari kita jadikan perbedaan tersebut sebagai ruang dialog kreatif, bukan arena persaingan yang memecah. Lembaga pendidikan keagamaan, pengajar utama, majelis taklim, dan orang tua santri perlu bersatu dalam semangat saling menghargai, berbagi pengetahuan, dan membangun kesetaraan dalam dunia tilawati. Dengan semangat kolaboratif, pengajar tilawati dan guru utama bisa tumbuh berdampingan bukan sebagai rival, tetapi sebagai dua wajah berbeda dari semangat disiplin, kebersamaan, dan kreativitas umat.



Postingan Terkait

Cari Blog Ini