Kewirausahaan Sosial Make Up Enthusiast dalam Perspektif Konflik Sosial
Oleh : Ladita Anggraeni, Mahasiswa Prodi PPKN UNIKAMA
Narasi ini saya kaitkan dengan teori konflik sosial fase postmodern yang dikembangkan oleh Michel Foucault, karena konflik yang muncul bukan lagi soal ekonomi atau kekuasaan politik, melainkan konflik makna dan wacana sosial tentang identitas dan tubuh. Dalam konteks ini, make up enthusiast berhadapan dengan pandangan masyarakat yang beragam, dan melalui aktivitasnya, ia menegosiasikan makna kecantikan serta kebebasan berekspresi di tengah tekanan sosial yang ada.
Dalam kehidupan sosial, aktivitas sehari-hari yang terlihat sederhana sering kali menyimpan makna dan dinamika yang lebih dalam. Salah satunya adalah kegiatan make up enthusiast, seorang yang mencintai dunia rias wajah dan menggunakan keahliannya untuk membantu orang lain tampil percaya diri. Namun, di balik hobi yang tampak positif ini, terdapat konflik sosial yang menarik untuk dikaji. Konfliknya bukan berupa pertentangan fisik atau ekonomi, melainkan perbedaan pandangan masyarakat terhadap makeup itu sendiri. Sebagian menganggap makeup sebagai bentuk seni dan ekspresi diri, sementara sebagian lain menilainya sebagai tindakan berlebihan atau tidak alami.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori konflik sosial fase postmodern yang dikemukakan oleh Michel Foucault. Menurut Foucault, kekuasaan tidak selalu tampak dalam bentuk otoritas langsung, tetapi juga tersembunyi dalam wacana sosial yakni cara masyarakat membentuk pengetahuan, norma, dan penilaian terhadap suatu hal. Dalam konteks ini, makeup menjadi arena wacana tempat individu bernegosiasi dengan pandangan sosial tentang kecantikan, tubuh, dan identitas.
Gagasan:
Konflik sosial dalam konteks make up enthusiast merupakan bentuk pertentangan makna dan wacana sosial tentang kecantikan dan identitas diri. Menurut Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya hadir dalam bentuk politik atau ekonomi, tetapi juga dalam wacana yang membentuk cara berpikir masyarakat. Dalam hal ini, pandangan masyarakat terhadap makeup menjadi arena kekuasaan simbolik: ada yang menganggapnya sebagai bentuk ekspresi diri, namun ada pula yang menilainya sebagai kepalsuan atau perilaku yang tidak perlu.
Alasan:
Kegiatan makeup penting untuk dibahas karena ia menyentuh persoalan sosial yang lebih luas, yaitu hak atas ekspresi diri dan kontrol sosial terhadap tubuh dan identitas. Makeup tidak hanya tentang mempercantik wajah, tetapi juga tentang bagaimana seseorang mengelola kepercayaan diri dan cara ia dipandang oleh masyarakat. Di sisi lain, penilaian negatif terhadap makeup memperlihatkan adanya tekanan sosial dan budaya terhadap standar kecantikan yang dianggap “ideal.”
Rumusan:
Latar belakang munculnya konflik ini berawal dari perbedaan cara pandang masyarakat terhadap fungsi makeup. Sebagian orang melihat makeup sebagai bentuk seni, kepercayaan diri, dan profesionalitas, sedangkan sebagian lain menganggapnya sebagai bentuk kepalsuan atau sikap konsumtif. Pertentangan ini menunjukkan bahwa makeup bukan sekadar aktivitas estetika, tetapi juga arena pertarungan simbolik antara nilai kebebasan personal dan norma sosial yang mengatur citra diri.
Uraian:
Beberapa faktor penyebab munculnya konflik pandangan terhadap makeup antara lain:
1. Wacana sosial dan budaya patriarki yang menetapkan standar kecantikan tertentu bagi perempuan.
2. Media dan industri kecantikan yang membentuk persepsi tentang wajah ideal.
3. Perbedaan nilai moral dan keagamaan yang memengaruhi pandangan tentang berhias.
4. Perubahan gaya hidup modern yang semakin menekankan penampilan dan kepercayaan diri.
5. Kebebasan berekspresi di era digital yang memperluas ruang penilaian dan komentar publik.
Dampak:
Konflik ini memiliki dua sisi. Di satu sisi, muncul stigma sosial terhadap perempuan atau individu yang suka makeup dianggap berlebihan, tidak natural, atau mencari perhatian. Namun di sisi lain, muncul pula gerakan positif yang menegaskan bahwa makeup adalah bentuk seni, ekspresi diri, dan cara mencintai diri sendiri. Konflik ini mendorong masyarakat untuk lebih terbuka terhadap keberagaman cara seseorang menampilkan identitasnya, sekaligus menumbuhkan kesadaran kritis terhadap kekuasaan sosial yang tersembunyi di balik “standar kecantikan.”
Ajakan:
Mari ubah cara pandang terhadap makeup dari sekadar simbol kecantikan menjadi bentuk kebebasan berekspresi dan pemberdayaan diri. Bagi para make up enthusiast, teruslah berkarya dan gunakan kemampuanmu untuk menginspirasi, bukan untuk memenuhi standar orang lain. Jadikan makeup sebagai ruang perlawanan lembut terhadap penilaian sosial yang mengekang, serta sebagai media untuk menunjukkan bahwa setiap orang berhak mendefinisikan kecantikannya sendiri.

