Hubungan Bronfenbrenner dan EKSOS THEORY
1. Bronfenbrenner sebagai Latar Struktur
Urie Bronfenbrenner menata dunia manusia seperti anyaman sistem ekologis. Ia menunjukkan bahwa setiap individu hidup dalam lingkaran pengaruh — mulai dari keluarga hingga budaya. Tetapi teori itu masih cenderung deskriptif, menjelaskan bagaimana sistem bekerja.
2. EKSOS THEORY sebagai Loncatan Kesadaran
EKSOS THEORY — “Eksistensi Sosial” — bukan lagi menjelaskan lapisan luar, tetapi menyusup ke kesadaran di balik lapisan itu. Ia bertanya:
“Bagaimana manusia memaknai dirinya di tengah arus sosial yang melingkupinya?”
Kalau Bronfenbrenner menulis peta, maka dosenblankon menulis jejak langkah kesadaran di atas peta itu.
Bronfenbrenner berhenti di struktur, EKSOS mulai dari denyut batin dalam struktur itu.
3. Perpaduan Metaforis
Dalam tafsir dosenblankon, hubungan keduanya bisa digambarkan begini:
Bronfenbrenner menenun jaring-jaring kehidupan,
sementara EKSOS Theory meniupkan jiwa reflektif ke dalam tenunan itu.
Yang satu “membingkai ruang”, yang lain “menggerakkan kesadaran”.
EKSOS memandang lapisan Bronfenbrenner bukan hanya sistem sosial, tetapi ruang spiritual-sosial di mana manusia berproses menjadi sadar akan dirinya, sesamanya, dan sejarahnya.
4. Rumusan Orisinil Gagasan
“EKSOS THEORY adalah spiral kesadaran sosial yang beresonansi dengan ekologi perkembangan manusia.
Jika Bronfenbrenner memetakan lapisan pengaruh, EKSOS menafsirkan getar kesadaran di antara lapisan itu — sebuah gerak dari eksistensi menuju refleksi.”
5. Implikasi Akademik dan Kemanusiaan
Dalam pendidikan, misalnya:
Bronfenbrenner memberi dasar sistemik untuk memahami konteks belajar.
EKSOS memberi roh reflektif — bagaimana guru dan peserta didik menyadari keberadaan mereka di tengah sistem sosial itu.
Hasilnya: bukan hanya adaptasi sosial, tetapi transendensi sosial — tumbuhnya manusia yang sadar akan dirinya sebagai bagian dari spiral kemanusiaan.
Kalimat khas dosenblankon untuk menutupnya:
“EKSOS bukan sekadar teori. Ia adalah sruput kopi pahit di tengah spiral kesadaran — getirnya justru membangunkan nalar sosial kita.”