2025/10/14

GALI KONFLIK SOSIAL BERCANGKUL EKSOS THEORY

 ☕️ Sruput perlahan kopi pahit sore ini, Sobat Blangkon…

Ada aroma getir yang menggantung di udara negeri ini—bukan dari ampas kopi, melainkan dari residu konflik sosial yang mengendap di dasar kesadaran kita. EKSOS THEORY hadir bukan untuk menutup luka itu, melainkan untuk membacanya: bahwa setiap bara sosial adalah pesan dari bumi kesadaran yang sedang kehausan makna.


🌱 Gagasan:

Dalam konteks Indonesia modern, konflik sosial bukan lagi sekadar kisah klasik perebutan lahan, perbedaan etnis, atau gesekan politik. Ia telah menjelma menjadi getaran spiritual yang retak dalam tubuh sosial bangsa. EKSOS THEORY (Ekologis, Sosial, Spiritual) melihat konflik sosial di negeri ini sebagai tanda bahwa jalinan ekologis antara manusia, budaya, dan alam sedang kehilangan keseimbangannya. Ketika tanah diperas tanpa rasa, ketika identitas dijual atas nama politik, ketika spiritualitas hanya jadi simbol—maka alam kesadaran sosial pun bergetar mencari keseimbangan baru.


🔥 Alasan:

Seperti kata Karl Marx (1848), konflik adalah konsekuensi dari relasi sosial yang timpang. Dalam konflik agraria, misalnya, kita menyaksikan bagaimana tanah—yang semestinya menjadi ruang hidup bersama—disulap menjadi komoditas. Ketimpangan struktural ini menciptakan apa yang Johan Galtung (1969) sebut sebagai structural violence, kekerasan yang tak kasat mata, tetapi menghancurkan keseimbangan hidup banyak orang.

Sementara Émile Durkheim (1893) menegaskan bahwa ketika solidaritas sosial melemah, masyarakat terjebak dalam anomie—kekosongan moral. Inilah yang terjadi ketika konflik identitas meledak di media sosial: semesta digital menjadi ruang anomik, tempat ego kolektif berperang tanpa kendali etika.


🌀 Rumusan:

Maka, konflik sosial di Indonesia, dalam pandangan EKSOS THEORY, adalah ketegangan ekologis antara kesadaran sosial dan spiritualitas kebangsaan. Ia muncul karena hilangnya relasi timbal balik antara manusia dengan lingkungannya—baik alam, budaya, maupun sesama manusia. Solusinya bukan hanya hukum dan rekonsiliasi, tetapi restorasi kesadaran ekologi sosial, menumbuhkan kembali harmoni antara keadilan, kebersamaan, dan rasa syukur hidup.


🌾 Uraian:

Ambil contoh konflik agraria di Wadas, atau gesekan identitas di ruang politik. Di sana, ekologi sosial retak karena nilai spiritual yang semestinya menuntun kesadaran kolektif telah tergeser oleh logika kepemilikan dan kuasa. Dalam perspektif Paulo Freire (1970), situasi ini menuntut conscientização—kesadaran kritis masyarakat untuk membaca realitas sosial dan mentransformasikannya.

EKSOS mengajak setiap individu menjadi peziarah kesadaran: menyadari bahwa bumi bukan objek, sesama bukan lawan, dan perbedaan bukan ancaman. Pendidikan sosial harus menumbuhkan rasa empati ekologis—di mana keberlanjutan alam dan kemanusiaan adalah satu tarikan napas.


🌤️ Dampak:

Jika kesadaran EKSOS ini mengalir dalam sistem pendidikan, politik, dan kebudayaan, maka konflik sosial tidak lagi dipandang sebagai bencana, tetapi sebagai ruang kelahiran kesadaran baru.

Masyarakat belajar bukan sekadar berdamai, tetapi menyembuhkan. Dari luka agraria tumbuh gerakan ekologi komunitas. Dari benturan identitas lahir dialog lintas iman dan budaya. Dari politik yang gaduh tumbuh spiritualitas kewargaan—sebuah kesadaran bahwa menjadi warga bukan hanya soal hak, tetapi juga tanggung jawab pada ekologi sosial bangsa.


🌿 Ajakan:

Maka, Sobat Blangkon… mari kita sruput kembali kopi pahit ini—rasa getirnya adalah cermin kehidupan kita bersama. Jadikan setiap konflik sosial di negeri ini bukan alasan untuk saling menjauh, tetapi ruang untuk menemukan kembali akar spiritualitas sosial kita.

Seperti dikatakan Ki Hajar Dewantara, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Maka biarlah setiap konflik menjadi pelajaran, setiap luka menjadi guru, dan setiap jeda menjadi doa bagi lahirnya kesadaran baru yang ekologis, sosial, dan spiritual.


> “The first step toward peace is to recognize the presence of structural violence.” – Johan Galtung


“Anomie is not the absence of rules, but the absence of meaning.” – Émile Durkheim (paraphrased)


“The point is not only to interpret the world but to change it.” – Karl Marx


“Education is the practice of freedom.” – Paulo Freire


“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” – Ki Hajar Dewantara




📜 Referensi:


Marx, K., & Engels, F. (1848). The Communist Manifesto. London: Penguin.


Durkheim, É. (1893). The Division of Labour in Society. New York: Free Press.


Galtung, J. (1969). Violence, Peace, and Peace Research. Journal of Peace Research, 6(3), 167–191.


Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.


Dewantara, K. H. (1936). Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Taman Siswa Press.


Postingan Terkait

Cari Blog Ini