Gagasan Dosenblankon tentang Pendidikan: Menumbuhkan Kesadaran, Menyuburkan Kemanusiaan
Pendidikan, bagi Dosenblankon, bukanlah sekadar ruang untuk menjejalkan teori, melainkan taman untuk menumbuhkan kesadaran. Ia memandang pendidikan sebagai ekologi sosial kesadaran—ruang di mana manusia tumbuh bersama nilai, nalar, dan nurani.
Pandangan ini berakar dari keyakinan bahwa setiap mahasiswa adalah “benih yang sadar akan tanah tempat ia tumbuh”, bukan sekadar penerima ilmu, melainkan pengolah makna kehidupan.
1. Pendidikan sebagai Proses Sosial dan Pengalaman (John Dewey)
John Dewey menegaskan bahwa “Education is not preparation for life; education is life itself” (Dewey, 1916). Bagi Dewey, pendidikan adalah proses pengalaman sosial yang hidup dan dinamis. Gagasan ini selaras dengan keyakinan Dosenblankon bahwa ruang kelas seharusnya menjadi laboratorium kehidupan, bukan museum pengetahuan.
Dosenblankon mengadaptasi prinsip Dewey dalam praktik pengajarannya: belajar harus dialami, bukan diajarkan. Mahasiswa diajak untuk melihat masalah sosial bukan dari buku teks semata, melainkan dari denyut kehidupan di sekitar mereka. Dalam konteks ini, pendidikan kewarganegaraan atau sosial menurutnya bukan sekadar hafalan pasal-pasal, melainkan proses pembentukan watak warga yang reflektif dan empatik terhadap realitas bangsanya.
“Kelas tanpa pengalaman sosial adalah ruang hampa yang mengajarkan diam.”
— Dosenblankon
Dengan demikian, gagasan Dosenblankon memperluas semangat Dewey dengan menempatkan pendidikan sebagai proses membangun kesadaran sosial ekologis, di mana pengalaman dan refleksi menjadi satu kesatuan menuju kebijaksanaan.
2. Pendidikan sebagai Pembebasan Kesadaran (Paulo Freire)
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) menyebut bahwa “Education either functions as an instrument which is used to facilitate integration of the younger generation into the logic of the present system and bring about conformity, or it becomes the practice of freedom.”
Freire menolak model pendidikan “banking system” yang menempatkan siswa sebagai wadah kosong.
Dosenblankon menafsirkan Freire dalam konteks Indonesia modern: mahasiswa bukan obyek pembelajaran, tetapi subyek yang berdaya dan merdeka berpikir. Melalui pendekatan ini, ia membangun “dialog eksistensial”—ruang di mana dosen dan mahasiswa berdialog sejajar, bukan bertingkat.
Bagi Dosenblankon, pendidikan harus membebaskan dari ketakutan berpikir dan menyalakan keberanian bertanya. Dalam praktiknya, ia sering mengajak mahasiswa menafsirkan ulang konsep kewarganegaraan, bukan sekadar sebagai status hukum, tetapi sebagai tanggung jawab moral terhadap kemanusiaan.
“Pendidikan sejati adalah ketika mahasiswa berani menggugat diamnya hati nurani.”
— Dosenblankon
Dengan semangat Freire, Dosenblankon melihat pendidikan sebagai gerak pembebasan dari pasifitas menuju kesadaran kritis—membentuk manusia yang tidak hanya tahu, tetapi peka dan peduli terhadap struktur ketidakadilan sosial di sekitarnya.
3. Pendidikan sebagai Konstruksi Sosial Pengetahuan (Lev Vygotsky)
Lev Vygotsky berpendapat bahwa “Learning awakens a variety of internal developmental processes that are able to operate only when the child is interacting with people in his environment” (Vygotsky, 1978). Bagi Vygotsky, pengetahuan tidak lahir secara individual, tetapi dikonstruksi melalui interaksi sosial.
Dosenblankon mengembangkan gagasan ini menjadi konsep “belajar sebagai ekosistem sosial”, di mana interaksi antara mahasiswa, dosen, dan masyarakat menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan. Ia menyebut pendekatan ini sebagai “EKSOS THEORY” (Ekologi Sosial Kesadaran), di mana setiap individu adalah sel hidup dalam jaringan sosial yang saling memengaruhi.
Melalui pandangan ini, Dosenblankon memandang tugas dosen bukan sebagai sumber pengetahuan, tetapi penghubung antar-kesadaran, fasilitator yang menyalakan dialog, diskusi, dan kolaborasi. Dalam proses ini, mahasiswa belajar menemukan identitas dan kontribusinya dalam komunitas.
“Pengetahuan tumbuh bukan dari kepala yang diisi, melainkan dari hati yang saling terhubung.”
— Dosenblankon
4. Sintesis: Pendidikan sebagai Ekologi Kesadaran (EKSOS THEORY)
Dari Dewey, Dosenblankon belajar bahwa pengalaman adalah guru sejati.
Dari Freire, ia memetik bahwa kesadaran adalah akar kebebasan.
Dari Vygotsky, ia menegaskan bahwa hubungan sosial adalah ruang tumbuh pengetahuan.
Ketiganya menyatu dalam gagasan khas Dosenblankon—pendidikan sebagai ekologi kesadaran. Ia memandang pendidikan bukan sebagai ruang vertikal (guru–murid), melainkan lingkaran kehidupan yang saling menumbuhkan. Mahasiswa tidak sekadar berpikir kritis, tetapi berpikir ekologis, yaitu menyadari hubungan dirinya dengan sesama, lingkungan, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam kerangka ini, Dosenblankon menegaskan bahwa pendidikan ideal di abad 21 bukan sekadar smart education, tetapi soulful education—pendidikan yang cerdas sekaligus berhati. Pendidikan harus memanusiakan manusia dalam arti yang paling utuh: sadar akan dirinya, sesamanya, dan Tuhannya.
“Pendidikan tanpa kesadaran adalah kegelapan yang berilmu; kesadaran tanpa pendidikan adalah cahaya yang tak berpijak.”
— Dosenblankon