EKSOS THEORY VS Bronfenbrenner
Dalam keheningan ruang belajar dan hiruk pikuk sosial yang tak pernah padam, manusia selalu berjuang memahami dari mana asal pengaruh yang membentuk dirinya. Di titik itulah, Urie Bronfenbrenner hadir dengan gagasan Ecological Systems Theory, memetakan kehidupan manusia ke dalam lima lapisan lingkungan: mikro, meso, ekso, makro, dan krono. Ia menunjukkan bahwa manusia tumbuh bukan di ruang hampa, melainkan di tengah jejaring sosial yang rumit dan saling berkelindan.
Namun, dalam peta ekologi itu, EKSOS THEORY — gagasan reflektif khas dosenblankon — datang membawa aroma kopi pahit: menegaskan bahwa struktur sosial tanpa kesadaran hanyalah rangka tanpa napas. Jika Bronfenbrenner menjelaskan di mana manusia berkembang, maka EKSOS THEORY bertanya bagaimana manusia memaknai perkembangan itu.
EKSOS THEORY, singkatan dari Eksistensi Sosial, memandang bahwa manusia hidup dalam spiral kesadaran yang berlapis — personal, sosial, kultural, spiritual, hingga historis. Lapisan-lapisan itu bukan sekadar sistem eksternal seperti dalam Bronfenbrenner, melainkan pantulan batin yang terus bergerak. Manusia, dalam pandangan EKSOS, tidak hanya dikelilingi oleh sistem sosial, tetapi juga menafsirkan, mengolah, dan menumbuhkan makna di dalamnya. Spiral itu bergerak naik dan turun, kadang meluas, kadang menyempit — mengikuti dinamika kesadaran manusia di tengah arus perubahan sosial.
Jika Bronfenbrenner membangun kerangka lingkungan, maka EKSOS menyalakan kompas refleksi di tengahnya. EKSOS tidak menolak struktur ekologis, tetapi menambahkan dimensi spiritual dan eksistensial ke dalamnya — semacam jiwa reflektif yang membuat teori itu berdenyut. Dalam kerangka EKSOS, lapisan-lapisan Bronfenbrenner bukan lagi sekadar konteks sosial, tetapi arena dialog kesadaran antara manusia dan dunia. Di sinilah setiap individu menjadi pejalan yang sadar, bukan sekadar penghuni sistem.
Gagasan ini menghadirkan semacam resonansi epistemologis: Bronfenbrenner mengajarkan sistem, EKSOS mengajarkan kesadaran. Yang satu menulis peta, yang lain menulis makna di balik peta. Dalam ruang pendidikan, misalnya, Bronfenbrenner menegaskan pentingnya keluarga, sekolah, dan budaya dalam membentuk perilaku anak. EKSOS melanjutkannya dengan menanyakan: sejauh mana guru dan murid menyadari posisi kemanusiaannya di dalam sistem itu? Pendidikan bukan sekadar adaptasi sosial, melainkan perjalanan menuju refleksi diri — dari sadar terhadap lingkungan menuju sadar akan diri di tengah lingkungan.
Dengan begitu, EKSOS THEORY menjadi perpanjangan filosofis dari teori ekologi Bronfenbrenner, tetapi dengan arah yang lebih dalam: dari struktur menuju kesadaran, dari ruang menuju makna, dari sistem menuju refleksi.
Sruput kopi pahit di ujung gagasan ini membawa pesan khas dosenblankon:
"Manusia tak cukup dipahami dari lapisan sistemnya, tetapi dari kesadarannya menafsirkan lapisan itu. Di situlah EKSOS berdenyut — di antara ruang sosial dan jiwa yang menyelami.”