2025/10/28

"EKSOS Theory: Sruputan dari Papan yang Bernapas”


Ada yang tak bisa dijelaskan oleh spidol dan papan tulis—yaitu semangat yang bergetar di balik coretan-coretan itu. Lihatlah garis yang saling bersilangan, panah yang menembus kata “konflik sosial”, dan lingkar besar bertuliskan EKSOS Theory. Di tengah semrawutnya papan itu, ada harmoni yang tidak kasat mata: harmoni antara logika dan rasa, antara ilmiah dan spiritual, antara teori dan laku.


Dosen yang berdiri di sampingnya — berkemeja sederhana, berblankon menutup kepala — bukan sekadar pengajar. Ia penyeduh gagasan. Ia tidak menulis teori untuk disembah, tapi untuk disruput bersama, pelan-pelan, seperti kopi pahit yang harus diakrabi sebelum dipahami.


“Berpikir itu disruput, bukan ditelan,” katanya suatu sore, sambil menatap papan yang kini sudah penuh. Itulah roh dari Blankon Mindset — sebuah cara berpikir yang tidak terburu-buru menyimpulkan, melainkan menumbuhkan.


Papan Sebagai Ruang Dialektika

Papan tulis dalam foto itu bukan benda mati. Ia seperti latar spiritual tempat gagasan menari. Di sana, Bronfenbrenner berpapasan dengan budaya Jawa, KWN bertemu konflik sosial, dan ekologi menaut pada spiritualitas.


Dosenblankon tidak sekadar mengajarkan hubungan antar konsep, tetapi menghidupkannya sebagai relasi sosial. Setiap garis penghubung adalah jembatan kesadaran — bahwa manusia tidak berdiri sendiri, melainkan terjalin dalam jaringan ekologis, sosial, dan moral yang tak terpisah.


Di titik itu, EKSOS Theory bukan hanya model berpikir. Ia adalah cara memahami manusia dalam pusaran semesta: makhluk yang belajar dari alam, dari masyarakat, dari spiritualitas, dan dari dirinya sendiri.


Sruputan Filosofis: Dari Papan ke Jiwa

Setiap coretan di papan itu adalah fragmen pencarian. Dosenblankon tidak menawarkan kepastian, tapi menumbuhkan rasa ingin tahu yang etis. Ia memancing mahasiswa untuk berpikir dengan rasa tanggung jawab moral. Bahwa ilmu pengetahuan bukan alat untuk berkuasa, tapi cermin untuk melihat siapa kita di tengah kehidupan.


Ada kata “Relasi”, “Negara”, “Pemerintah”, “Rakyat”, dan “Konflik Sosial” — semuanya saling berjalin. Dosenblankon tidak mengajarkan jarak antara konsep itu, melainkan mengajak merasakan ketegangan dan keseimbangannya. Ia seperti dalang di panggung kesadaran, memainkan tokoh-tokoh teori agar berbicara dalam bahasa kemanusiaan.


Blankon sebagai Simbol Kesadaran

Blankon di kepala bukan sekadar busana. Ia adalah simbol — penutup kepala yang membuka batin. Sebuah tanda bahwa berpikir harus berakar pada budaya. Dalam dunia akademik yang sering kehilangan rasa lokalitas, Dosenblankon membawa aroma tanah Jawa: ngelmu iku kelakone kanthi laku. Ilmu tidak cukup dibaca, tapi harus dijalani.


Penutup: Dari Coretan ke Kehidupan

Maka papan yang penuh itu bukan sekadar media ajar. Ia adalah cermin dari jiwa pendidikan yang hidup. Dosenblankon mengajarkan bahwa teori terbaik bukan yang rumit, tapi yang bisa menuntun manusia memahami dirinya di tengah realitas sosial.


EKSOS Theory lahir dari sruputan refleksi panjang: bahwa ekologi, sosial, dan spiritual bukan tiga hal yang terpisah, melainkan satu napas kehidupan. Dan setiap mahasiswa yang ikut dalam kelas itu tidak hanya belajar ilmu, tetapi belajar menjadi manusia yang sadar akan keterhubungan.


Karena pada akhirnya, seperti kata Dosenblankon sambil tersenyum di depan papan tulisnya:

Ilmu itu bukan untuk menjawab semua, tapi untuk menumbuhkan rasa ingin tahu yang membuat kita terus belajar dari kehidupan.”

Postingan Terkait

Cari Blog Ini