EKSOS THEORY PERTAJAM LENSA KONFLIK SOSIAL
☕️ Sruput dulu kopi pahitnya, Sobat Blangkon…
Asap tipis kesadaran menari di antara jari dan waktu, mengingatkan kita bahwa hidup sosial itu ibarat bara di dasar tungku—kadang hangat, kadang membara. Dalam ruang ini, EKSOS THEORY menelusuri denyut konflik sosial, bukan semata sebagai pertentangan, melainkan sebagai pesan alam kesadaran bahwa keseimbangan sedang goyah.
🌱 Gagasan:
Dalam bingkai EKSOS (Ekologis, Sosial, Spiritual), konflik sosial tidak dipahami sebagai anomali, tetapi sebagai gejala ketidakseimbangan ekologi kesadaran manusia. Ia muncul ketika relasi antara individu, komunitas, dan semesta kehilangan irama keseimbangannya. Di sinilah EKSOS berbicara: bahwa konflik adalah panggilan untuk menata ulang kesadaran ekologis dan spiritual sosial manusia.
🔥 Alasan:
Konflik, kata Karl Marx (1848), adalah motor sejarah—produk dari pertentangan kelas dan struktur ekonomi yang tidak adil. Namun, dalam tafsir EKSOS, api konflik bukan hanya persoalan material, tetapi juga kehilangan makna spiritual dalam hubungan sosial. Saat manusia terjebak dalam logika “memiliki” daripada “mengalir bersama,” maka ekologi sosial menjadi tandus. Sebaliknya, Émile Durkheim (1893) melihat konflik sebagai akibat melemahnya solidaritas sosial dan anomie—keadaan tanpa arah moral. EKSOS menyambung benang ini dengan menegaskan: anomie bukan hanya kehilangan norma, tetapi kehilangan akar spiritual yang menyatukan diri dengan semesta.
🌀 Rumusan:
Maka, dapat dirumuskan bahwa konflik sosial dalam perspektif EKSOS THEORY adalah ketegangan dalam jejaring kehidupan yang kehilangan harmoni antara ekologi kesadaran, nilai sosial, dan energi spiritual. Ia bukan sekadar gesekan, tetapi tanda bahwa sistem sosial membutuhkan perawatan batin kolektif. Sejalan dengan Johan Galtung (1969) yang membedakan antara direct violence, structural violence, dan cultural violence, EKSOS memaknai penyembuhan konflik bukan sekadar menghentikan kekerasan, tetapi menyembuhkan struktur kesadaran yang melahirkannya.
🌾 Uraian:
EKSOS menawarkan jalan penyembuhan berbasis ekologi kesadaran sosial. Pertama, dengan memulihkan keterhubungan antara manusia dan lingkungan—sebuah kesadaran ekologis yang menumbuhkan empati lintas batas. Kedua, melalui sosialisasi spiritualitas, masyarakat didorong untuk melihat konflik sebagai ruang refleksi moral. Ketiga, spiritualisasi sosial—menghidupkan kembali rasa “kita” sebagai energi penyembuh. Dengan demikian, konflik menjadi proses alkimia sosial: dari luka menuju cahaya, dari retakan menuju jalinan baru.
🌤️ Dampak:
Ketika kesadaran EKSOS diterapkan, konflik berubah menjadi ruang pembelajaran kolektif. Masyarakat tidak lagi mencari pemenang, tetapi makna. Energi sosial yang semula panas menjadi hangat, menumbuhkan solidaritas ekologis dan spiritual. Dalam bahasa Freire (1970), konflik bisa menjadi praxis kesadaran kritis—momen di mana manusia menyadari dirinya sebagai subjek yang mampu mentransformasikan dunia.
🌿 Ajakan:
Maka, Sobat Blangkon, mari kita sruput lagi kopi pahit ini—rasa getirnya adalah guru. Jadikan setiap konflik bukan bahan bakar kebencian, tetapi cermin untuk menata ulang ekologi batin sosial kita. Dalam filosofi EKSOS, penyembuhan sosial tidak dimulai dari kebijakan, tetapi dari kesadaran: bahwa harmoni tidak pernah datang dari keseragaman, melainkan dari keberagaman yang disiram dengan kasih dan kesadaran ekologis.
> “Peace is not the absence of conflict but the presence of creative alternatives for responding to conflict.” – Johan Galtung
“Social facts, though external, live in us as moral bonds.” – Émile Durkheim
“Philosophers have only interpreted the world, in various ways; the point, however, is to change it.” – Karl Marx
“Education is the practice of freedom.” – Paulo Freire
📜 Referensi:
Marx, K., & Engels, F. (1848). The Communist Manifesto. London: Penguin.
Durkheim, É. (1893). The Division of Labour in Society. New York: Free Press.
Galtung, J. (1969). Violence, Peace, and Peace Research. Journal of Peace Research, 6(3), 167–191.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.