EKSOS THEORY dan Upacara Senin
Oleh : Rini Soebektiandari Mahasiswa RPL Afirmasi 2025 Unikama, Guru TK Aisyiyah Bustanul Athfal 13 Blimbing Malang
Upacara mengajarkan anak belajar menanggapi perintah, berkoordinasi dengan teman sebaya (meluruskan barisan), dan melihat guru menjalankan peran resmi. Hal ini melatih disiplin internal dan keterampilan sosial-emosional (Kesadaran Sosial) yang diperlukan untuk berinteraksi harmonis di lingkungan terdekatnya.
Senin pagi di TK ABA 13 selalu memiliki aura yang unik. Udara pagi yang masih segar bercampur dengan riuh rendah suara cicitan sepatu kecil dan tawa ceria. Di tengah kesibukan itu, sebuah ritual agung nan sederhana diselenggarakan: Upacara Bendera Merah Putih.
Bagi orang dewasa, upacara mungkin terasa formal dan kaku, namun di mata anak usia dini, ini adalah panggung baru yang penuh makna. Lapangan kecil sekolah berubah menjadi sebuah teater kebangsaan. Anak-anak berbaris membentuk barisan yang—seperti yang kita maklumi—jauh dari kata rapi. Ada yang sibuk membetulkan letak topi, ada yang tangannya usil mencolek teman di samping, bahkan ada pula yang tiba-tiba berjoget saat mendengar musik instrumental mengalun.
Namun, di balik kegemasan itu, upacara bendera adalah momen penting untuk menanamkan tiga hal yang sangat pokok:
1. Belajar Disiplin Diri dan Ketertiban Sosial. Upacara adalah latihan pertama anak untuk menahan diri. Mereka belajar berdiri tegak, mendengarkan instruksi, dan memahami konsep menunggu giliran—sebuah keterampilan sosial yang sangat mahal harganya. Ketika bendera mulai dinaikkan, ada momen hening singkat yang magis. Pada saat itu, anak-anak belajar mengendalikan dorongan untuk bergerak, memusatkan perhatian pada satu simbol, dan merasakan getaran kebersamaan yang teratur. Disiplin bukanlah paksaan, melainkan proses internalisasi bahwa ada tata tertib yang harus dihormati bersama.
2. Mengenal Jati Diri Bangsa Melalui Simbol. Lagu "Indonesia Raya" mungkin belum mereka pahami lirik per liriknya, tetapi irama musiknya merasuk ke dalam jiwa. Bendera Merah Putih, yang mereka lihat dikerek perlahan, menjadi simbol visual pertama mereka tentang identitas bangsa. Mereka mungkin tidak mengerti sejarah kemerdekaan, tetapi mereka mengerti rasa bangga. Upacara di PAUD adalah penyampaian nilai-nilai kebangsaan yang paling otentik: melalui penglihatan, pendengaran, dan perasaan.
3. Panggung Pengembangan Diri. Momen yang paling ditunggu tentu saja adalah saat anak-anak terpilih menjadi petugas upacara. Ada yang menjadi pemimpin barisan, pembaca teks Pancasila (dengan intonasi yang lucu dan terbata-bata), atau bahkan petugas pengibar bendera cilik. Kesempatan ini adalah latihan keberanian, tanggung jawab, dan kepercayaan diri.
Kegagalan kecil saat bertugas tidak pernah dicemooh; sebaliknya, disambut dengan tepuk tangan hangat dari teman-teman dan guru. Panggung upacara telah menjadi tempat aman bagi mereka untuk mencoba, salah, dan berani tampil. Setelah lagu kebangsaan selesai dan amanat pembina upacara (yang tentu saja disajikan dalam bahasa dongeng dan cerita) disampaikan, suasana kembali cair. Barisan bubar, dan anak-anak kembali menjadi diri mereka yang penuh energi.
Upacara bendera di PAUD, meskipun penuh dengan kepolosan dan ketidak sempurnaan, adalah fondasi karakter yang kita bangun. Di lapangan kecil itu, kita sedang menanam benih-benih cinta tanah air, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap norma. Kelak, saat mereka dewasa, harapan kita adalah agar mereka tidak hanya mengingat lagu dan bendera, tetapi juga mengingat momen di mana mereka pertama kali belajar berdiri tegak—bukan hanya secara fisik, tetapi juga sebagai individu yang utuh.
Nilai Kewarganegaraan: Ini adalah langkah awal penanaman patriotisme dan nasionalisme. Anak belajar bahwa Bendera adalah milik bersama, simbol yang menyatukan semua orang di sekolah. Rasa memiliki ini adalah fondasi untuk menghargai identitas bangsa dan memupuk rasa bangga sebagai bagian dari Indonesia. Disiplin adalah esensi dari masyarakat yang teratur. Anak belajar bahwa menjadi warga negara yang baik berarti menaati aturan (baik aturan sekolah maupun aturan negara) dan menghormati pemimpin upacara. Sikap tertib ini kelak akan berkembang menjadi ketaatan terhadap hukum dan etika sosial yang berlaku di masyarakat.
Aspek spiritual: Pada anak usia dini berkaitan dengan pengembangan nilai-nilai luhur, ketenangan batin, rasa syukur, dan kesadaran akan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka. Upacara bendera, meskipun bersifat seremonial kebangsaan, dapat dihubungkan secara subtil dengan pembentukan spiritualitas. Anak diajarkan untuk menghargai dan bersyukur atas kemerdekaan, keamanan, dan kesempatan untuk bersekolah. Guru dapat mengarahkan rasa bangga terhadap negara ini sebagai bentuk syukur kepada Tuhan (Rabb) atas anugerah berupa tanah air yang damai dan indah. Rasa syukur adalah pintu masuk menuju kesadaran spiritual yang positif.
Eksos Theory: Perkembangan anak dipengaruhi oleh serangkaian sistem lingkungan yang saling berinteraksi, mulai dari yang terdekat hingga yang terluas. Dalam konteks Upacara Bendera di PAUD, ritual ini berperan sebagai penghubung dinamis yang membawa pengaruh dunia anak. Upacara mengajarkan anak belajar menanggapi perintah, berkoordinasi dengan teman sebaya (meluruskan barisan), dan melihat guru menjalankan peran resmi. Hal ini melatih disiplin internal dan keterampilan sosial-emosional (Kesadaran Sosial) yang diperlukan untuk berinteraksi harmonis di lingkungan terdekatnya.




