2025/10/29

Dari Lokalitas ke Kosmopolitisme Akar

 

DNA Dosen Blankon sejak awal tumbuh dari tanah Jawa — dari kesadaran batin, budaya ngilo diri, srawung, dan rasa sebagai epistemologi.

Nah, ide liar ketiga ini berani melompat:

“Bagaimana kalau spiritualitas berpikir ala Dosen Blankon dijadikan tawaran epistemologis global — bukan dalam bahasa kolonial akademik, tapi dalam bahasa kesadaran yang universal?”


Kita tidak lagi bicara lokal wisdom, tapi local thinking system — sistem berpikir yang memiliki logika sendiri, bukan versi pinggiran dari teori Barat.

Seperti Ubuntu di Afrika atau Dao di Timur, Blankon Mindset bisa menjadi model berpikir lintas budaya yang menekankan kesadaran, keseimbangan, dan rasa.


Dosen Blankon Sebagai Model Epistemologi Dekolonial

Eksperimen ini menantang hegemoni akademik modern: bahwa berpikir harus logis, argumentatif, dan berbasis data.

Dosen Blankon menawarkan alternatif:

Berpikir itu bisa “lirih tapi dalam”, “pelan tapi tembus”, “rasa tapi tajam.”


Inilah bentuk dekolonisasi epistemik, di mana nalar Jawa tidak lagi dilihat sebagai “mistik” atau “subjektif”, tetapi sebagai metode olah kesadaran yang rasional dalam caranya sendiri.


 Tiga Pilar Wacana Global Dosen Blankon

a. Epistemologi Rasa

Rasa bukan sekadar emosi, tapi organ pengetahuan.

Seperti halnya intuisi dalam filsafat Timur, rasa adalah jembatan antara pengalaman dan pemahaman.

“Rasa adalah laboratorium batin tempat ilmu diuji tanpa suara.”

b. Spiritualitas Reflektif

Dosen Blankon memandang berpikir sebagai laku spiritual — bukan sekadar kegiatan kognitif.

Refleksi adalah doa yang berpikir, bukan argumen yang berdebat.

“Semakin dalam berpikir, semakin sunyi suara kita.”

c. Dialog Kosmik

Berpikir bukan aktivitas individu, tapi resonansi antara manusia dan semesta.

Inilah titik temu antara manusia, tanah, dan kesadaran.

 “Kita tidak berdialog dengan teks, tapi dengan semesta yang menulis teks itu.”


Format Globalisasi Dosen Blankon

Untuk membawa wacana ini ke tingkat global, Dosen Blankon tidak perlu menjadi institusi besar. Ia cukup menjadi gerakan kesadaran lintas budaya, misalnya:

Blankon Talks: forum global reflektif yang mempertemukan pemikir dari berbagai tradisi spiritual untuk berdialog dalam bahasa kesadaran, bukan bahasa akademik.

Blankon Residency: program lintas budaya di mana praktisi dan pemikir hidup di desa-desa Jawa, belajar “berpikir dari tanah.”

Blankon Atlas: dokumentasi digital yang memetakan filosofi rasa dan spiritualitas berpikir dari berbagai tradisi dunia — bukan untuk diseragamkan, tapi untuk disrawungkan.


Penutup: Dari Jawa untuk Dunia

DNA Dosen Blankon bukan ingin menasionalisasi pikiran, tetapi menyumbangkan cara baru melihat dunia:

“Berpikir bukan tentang menguasai, tetapi tentang menyatu.”

“Ilmu bukan alat untuk menang, tetapi ruang untuk menyadari bahwa kita tidak pernah sepenuhnya tahu.”


Di titik inilah Dosen Blankon tidak lagi sekadar identitas —

tapi gerakan kesadaran global yang berpijak di tanah, tapi menatap semesta.


Kalimat penutupnya biar kita sruput bersama:

Kopi pahit itu tidak pernah menakutkan. Ia hanya mengingatkan bahwa kebenaran, kalau jujur, memang tak selalu manis.”


Postingan Terkait

Cari Blog Ini