Blangkon dan Pendidikan: Menjaga Tradisi
Blangkon jadi simbol identitas. Dosenblankon hadir menjaga tradisi Jawa sembari membangun pendidikan yang visioner dan membumi.
![]() |
dosenblankon (Foto: bay/Ist) |
Dalam dunia pendidikan tinggi, sosok Dosenblankon hadir bukan hanya sebagai pengajar, melainkan penuntun laku. Ia dikenal karena blangkon yang selalu menghiasi kepalanya—simbol identitas budaya Jawa yang tidak sekadar ornamen, melainkan pernyataan tegas bahwa tradisi tidak boleh tercerabut dari akar.
Mahasiswa melihatnya sebagai figur yang hangat namun berwibawa. Dalam setiap kelas, ia menghadirkan ilmu pengetahuan dengan bahasa sederhana, diselingi pitutur Jawa yang sarat makna. Baginya, “urip iku sinau, makaryo, lan mbagi ilmu”—hidup adalah belajar, berkarya, dan berbagi ilmu. Filosofi ini bukan hanya ia ucapkan, melainkan ia jalani dalam keseharian.
Sebagai pendidik, Dosenblankon tidak hanya menekankan kecerdasan intelektual, tetapi juga integritas, kejujuran, dan karakter. Ia percaya bahwa pendidikan bukan sekadar menjejalkan teori, melainkan menumbuhkan jiwa yang berakar kuat namun lentur menghadapi arus globalisasi. Blangkon yang dikenakannya menjadi pengingat bahwa modernitas dan tradisi bisa berjalan seiring, seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi.
Interaksinya dengan mahasiswa penuh empati, tanpa jarak, namun tetap menegakkan disiplin. Ia mengingatkan pepatah Jawa “ajining diri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana”—harga diri terletak pada ucapan, kehormatan raga ada pada kesederhanaan penampilan. Dengan keteladanan itu, ia membentuk generasi muda yang berpikir kritis sekaligus berakar pada nilai.
Dosenblankon adalah refleksi visioner seorang pendidik Jawa: menjembatani masa lalu dan masa depan, menjaga harmoni antara ilmu dan budaya. Seperti pepatah “sapa nandur bakal ngundhuh”, ia menanam ilmu dan kebijaksanaan, yang kelak akan dipanen oleh generasi penerus bangsa.