Pokoknya Bisa… Pokoknya Bisa…
Aku ngopi sendirian. Di tepi jalan. Di Samping stadion Gajayana Malang. Yang jualan sudah tua. Hanya pakai meja seadanya. Pembeli hanya aku doank.
Oleh Yohanes Bosco Hariyono
Cangkir atau gelas Mas?
Gelas. Jawabku.
Malam itu aku ingin menikmati me time lebih panjang dari biasanya.
Lima meter dari tempat jualan tiba-tiba datang dan duduk di trotoar seorang pemuda awal tigapuluhan.
Laris, Mbah?
Nggih ngeten Niki. (Ya gini ni kondisi jualan saya) Pokoke disyukuri, Mas.
Mbah putri penjual kopi dan gorengan menghela nafas, wajahnya keriput, tapi teduh.
Pokoke Isa…! pokoke Isa…!
Kudune Isa! Mestine Isa!!!
(Pokoknya Bisa… Pokoknya Bisa… sehatusnya…semestinya bisa)
Dialog kami sempat terhenti sejenak. Kami berdua dikagetkan teriakan berulang si pemuda.
Siapa Mbah?
Gak tahu… Edan anyaran paling. Wong setres. (Orang gila baru, kali. Orang stress) Kemarin-kemarin gak ada kok.
Apa kiriman baru ya Mbah?
Palingo (iya kali)
Kasihin dia kopi dan gorengan, Mbah.
Inggih
Si Mbah menyeduhkan kopi. Lalu mengulurkan secangkir kopi dan cawan berisi dua potong gorengan.
Kami melanjutkan dialog terpotong tadi. Si Mbah cerita tentang anak dan cucunya yang merantau jauh di Jakarta dan Palembang.
Rokok! Si pemuda menghampiri kami, meminta rokok eceran.
Si Mbah memandangku. Aku mengangguk setuju, tanda aku yang akan bayar semua. Dia menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Dia kembali ke trotoar lagi.
Kami melanjutkan dialog. Si Mbah cerita tentang keluarganya. Suaminya sudah lama meninggal. Dia hidup sendirian di Bareng Kartini. Setiap malam jualan di sini. Tak ada tanda keluhan atau penyesalan. Semua dijalaninya secara ikhlas. Cerita dia terhenti sejenak, ketika melayani pembeli rokok eceran.
Pembeli pergi. Ada jeda lama. Kami berdua terdiam. Hanya teriakan pemuda yang tak pernah berhenti. Bahkan aku sempat terganggu selama mendengarkan kisah si Mbah. Teriakannya tetap, tidak berubah.
Pokoke Isa…! pokoke Isa…!
Kudune Isa! Mestine Isa!!!
(Pokoknya Bisa… Pokoknya Bisa…sehatusnya…semestinya bisa!!)
Heh, Mas. Sapaku, tak tahan juga akhirnya.
Pokoke Isa, Isa apa Mas?
Si pemuda berhenti sejenak. Memandangku. Seolah menyelidik atau baru sadar kalau aku ada di deketnya sejak tadi.
Sampeyan ya Isa (kamu juga bisa). Asalkan tahu metode yang pas.
Lha iya, bisa apa? Metode apa?
Metode menyembuhkan orang kayak aku?
Emang kamu kenapa Mas?
Gendeng. Setres!
Lho, sadar gitu kok. Ya gak setres, Mas
Haaah…! Pokoke Isa…! pokoke Isa…!
Kudune Isa! Mestine Isa!!!
(Pokoknya Bisa… Pokoknya Bisa…sehatusnya…semestinya bisa)
Si pemuda lalu ngeloyor pergi. Teriakannya tetap, bahkan makin kencang.
Kersane Mas, hibur Mbah penjual kopi.
Inggih, Mbah.
Aku mengambil singkong goreng. Mengunyah sampai lumat dan habis. Lalu menyeruput kopi yang sudah kutuang di cawan. Aku ikutan menyalakan sebatang rokok.
Hening.
Namun ada yang berkecamuk di kedalaman diriku.
Seharusnya bisa…
Kamu juga bisa ….
Menyembuhkan orang sepertiku…
Temukan metode yang pas …
Gila..! Napa ganti aku yang mengulang litani orang setres tadi ya…
Berulang. Tergiang. Dan makin masuk di relung terdalam. Seolah aku gak bisa menghindarinya.
Aku menghisap rokok perlahan.
Tuhan, bisik ku dalam hati. Bantu sembuhkan orang-orang seperti itu. Kasihan.
Hening
Kalau kasihan, ya kamulah yang harus sembuhkan.
Lho, kok aku.
Iya. Kamu yang harus bantu mereka. Sembuhkan mereka. Temukan metodenya….
Aku menghisap rokok lebih dalam dan segera membuangnya. Sekalian ingin membuang suara-suara yang tergiang.
Benarkah ini suaraMu Tuhan.
Benarkah aku di utus untuk mereka?
Beri aku tanda jika itu suaraMu dan itu perutusanku….
Tak butuh waktu lama buat Tuhan untuk memberi tanda. Beberapa hari kemudian, tanpa janjian beberapa orang mulai datang padaku. Minta pendampingan konseling. Padahal aku baru masuk kuliah. Dan aku bukan mahasiswa psikologi.
Malang, suatu hari di bulan Juli 1988.