Belajar Mendalam ala Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara, tokoh utama dalam dunia pendidikan Indonesia, sudah sejak awal abad ke-20 meletakkan dasar pemikiran yang luar biasa revolusioner dan tetap relevan hingga hari ini. Di tengah arus perubahan zaman dan teknologi, konsep pendidikan yang beliau gagas ternyata sangat selaras dengan pendekatan pendidikan modern yang kini dikenal dengan istilah deep learning atau pembelajaran mendalam.
Oleh Engelbertus Kukuh Widijatmoko
Konsep deep learning dalam pendidikan bukan sekadar istilah dalam dunia kecerdasan buatan. Dalam konteks pembelajaran, deep learning berarti proses belajar yang tidak berhenti pada hafalan, tetapi mengajak peserta didik untuk memahami, mengaitkan, dan merefleksikan pengetahuan agar menjadi bagian dari dirinya. Tujuannya bukan hanya tahu, melainkan mampu berpikir kritis, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan pengetahuan dalam konteks nyata kehidupan.
Menariknya, puluhan tahun sebelum istilah deep learning populer di dunia Barat, Ki Hadjar Dewantara sudah menanamkan filosofi serupa dalam sistem pendidikan yang ia gagas. Dalam pemikirannya, pendidikan harus menjadikan anak sebagai subjek utama. Anak memiliki kodrat sendiri yang tidak bisa diseragamkan. Oleh karena itu, pendidikan tidak boleh bersifat memaksa, melainkan harus menuntun dan memerdekakan.
Sebagaimana dikatakan Ki Hadjar:
"Anak-anak hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu."
(Ki Hadjar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka)
Pernyataan ini adalah fondasi dari pendekatan student-centered learning, sebuah prinsip utama dalam deep learning, di mana guru bukan satu-satunya sumber informasi, melainkan fasilitator proses belajar. Anak diberi ruang untuk bereksplorasi, bertanya, menyimpulkan, dan mengambil makna dari apa yang ia pelajari.
Ki Hadjar juga dikenal dengan falsafah pendidikan yang disebut Trikon, yakni pendidikan harus dilakukan secara kontinuitas (berkelanjutan), konvergensi (menggabungkan budaya lama dan baru), serta konsentris (berakar dari budaya sendiri, terbuka pada budaya lain). Hal ini sangat sesuai dengan esensi deep learning yang menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama dan menekankan pemahaman lintas konteks.
Lebih dari itu, Ki Hadjar Dewantara juga menekankan pentingnya pendidikan yang menyentuh seluruh dimensi manusia: pikiran, perasaan, dan kehendak. Dalam bahasa pendidikan modern, ini selaras dengan pendekatan holistik yang menjadi ciri khas deep learning. Pembelajaran tidak hanya berorientasi pada kognisi (kepandaian akademik), tapi juga afeksi (nilai, emosi) dan psikomotorik (tindakan nyata). Maka, deep learning tidak hanya mencetak orang yang tahu banyak, tapi juga orang yang bijak dan bertanggung jawab.
Kutipan lain dari Ki Hadjar menegaskan bahwa:
“Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak.”
(Ki Hadjar Dewantara, 1930)
Falsafah ini identik dengan apa yang dalam deep learning dikenal sebagai meaningful learning — pembelajaran yang bermakna dan terhubung dengan kehidupan nyata. Dalam deep learning, belajar bukan sekadar menghafal definisi, melainkan mengembangkan kemampuan berpikir kritis, menyusun argumen, dan merefleksikan proses belajarnya.
Sementara itu, semboyan Ki Hadjar yang sangat terkenal, yaitu:“Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,”
adalah prinsip pedagogis yang amat dekat dengan pendekatan fasilitatif dalam deep learning. Guru adalah teladan saat di depan, motivator ketika bersama siswa, dan pendorong kemandirian saat siswa siap melangkah sendiri.
Peran guru sebagai pemberi semangat dan penuntun inilah yang menghindarkan pendidikan dari sistem otoriter yang hanya berorientasi pada nilai ujian. Dalam pembelajaran mendalam, guru bukanlah "penguasa kelas", tetapi rekan belajar yang mendorong siswa untuk berani berpikir, bertanya, dan mengembangkan ide.
Di era teknologi dan digital saat ini, konsep deep learning makin mendapat tempat karena mampu menjawab tantangan zaman. Dunia berubah cepat, dan peserta didik tidak cukup hanya tahu "apa", tapi juga harus mengerti "mengapa" dan "bagaimana". Dan di sinilah kita kembali melihat betapa pemikiran Ki Hadjar masih sangat relevan — bahkan melampaui zamannya.
Pendidikan bukan sekadar mencetak lulusan yang cakap secara akademik, tetapi manusia utuh yang merdeka secara pikir, rasa, dan karsa. Dengan menggabungkan warisan pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan pendekatan deep learning, kita bisa membangun sistem pendidikan yang bukan hanya mencerdaskan, tetapi juga membebaskan dan memanusiakan.
Penutup
Jika kita ingin menjadikan pendidikan Indonesia lebih maju, maka deep learning bukan hanya strategi modern, tetapi juga pelaksanaan konkret dari filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Warisan beliau bukan sekadar untuk dikenang setiap Hari Pendidikan Nasional, tetapi untuk dihidupkan kembali dalam praktik belajar-mengajar sehari-hari. Karena sejatinya, pendidikan sejati adalah pendidikan yang menumbuhkan, membebaskan, dan memanusiakan.