2025/05/26

Cerita 28: "Dari Dorongan Jadi Pelajaran"

 Rio datang ke pertunjukan Bantengan bersama geng sekolahnya. Mereka berdelapan, mengenakan jaket seragam komunitas motor pelajar. Awalnya mereka hanya berniat menonton dan bersenang-senang, tapi suasana berubah ketika salah satu dari mereka mulai berdiri dan bersorak terlalu keras, menyela irama gamelan dan mengganggu pemain.

Penonton lain menegur. Namun Rio, yang sedang tinggi adrenalinnya, malah membalas dengan nada keras. Satu kata berujung pada kata lainnya. Dorongan pun terjadi. Dalam hitungan detik, keributan kecil pecah di antara kerumunan penonton. Pemain Bantengan sampai menghentikan pertunjukan sejenak.


Petugas keamanan desa datang melerai. Rio dan teman-temannya ditarik ke sisi lapangan dan diberi teguran keras oleh sesepuh desa. “Bantengan bukan sekadar tontonan. Ini warisan. Kalian muda, tapi bukan berarti bisa seenaknya.” Kata-kata itu menghantam kesadaran Rio.

Dengan kepala tertunduk, Rio meminta maaf. Rasa malu menyelimuti dirinya. Ia tak menyangka emosinya bisa merusak momen sakral yang dijunjung masyarakat. Usai kejadian itu, Rio menulis permintaan maaf di grup desa dan ikut menjadi sukarelawan membersihkan lapangan keesokan harinya.


Pertunjukan malam itu tidak hanya menyuguhkan kesenian, tapi juga menyadarkannya tentang pentingnya menahan emosi dan menghargai ruang budaya.

Pesan Moral:

Menghargai budaya bukan hanya tentang menonton dengan tenang, tapi juga menjaga sikap. Emosi sesaat bisa menghancurkan nilai yang dibangun berabad-abad.

Postingan Terkait