2025/05/25

Cerita 27: "Ritual dan Gadget"

 Malam itu, Rina membawa kedua anaknya, Dito (7) dan Ayla (5), ke lapangan desa untuk menonton pertunjukan Bantengan. Suaminya sedang dinas luar kota, dan ia pikir, ini waktu yang tepat untuk mengenalkan anak-anaknya pada budaya leluhur. Namun sejak awal, Dito tak lepas dari tabletnya. Ayla pun sibuk berswafoto dengan pose-pose lucu.

Pertunjukan dimulai. Irama gamelan berdentam keras, asap dupa membumbung, dan suara sorakan penonton menggema. Rina tersentak ketika salah satu pemain Bantengan tampak kesurupan, bergerak liar, bahkan berteriak seperti banteng sungguhan. Anak-anaknya langsung panik. Ayla menutup telinga, Dito menangis ketakutan.


Rina merasa bersalah. Ia ingin anak-anaknya menghargai budaya sendiri, tapi malah membuat mereka trauma. Seorang nenek yang duduk di sebelahnya berkata lembut, "Mereka memang belum siap. Tapi jangan berhenti mengenalkan. Budaya bukan untuk ditakuti, tapi dipahami perlahan."


Kata-kata itu menenangkan hati Rina. Ia peluk kedua anaknya dan menjelaskan bahwa yang mereka lihat adalah bentuk seni dan kepercayaan masyarakat, bukan sesuatu yang menakutkan. Malam itu, Rina pulang dengan pikiran yang berubah. Ia sadar, mengenalkan budaya bukan dengan memaksakan, tapi dengan menjembatani antara tradisi dan dunia modern.


Pesan Moral:

Mewariskan budaya tidak harus dengan cara lama. Kita bisa merangkul tradisi sambil tetap memberi ruang untuk zaman yang terus berubah. Anak-anak perlu waktu dan jembatan untuk mencintai akar budayanya.

Postingan Terkait