2025/04/20

GUYUP RUKUN DAN NARIMA SEBAGAI KONSEP CINTA ORANG JAWA

Orang Jawa memiliki pola pikir khas yang tercermin dalam berbagai ungkapan dan simbolisasi. Ungkapan yang sifatnya turun temurun dan simbol-simbol budaya diciptakan sebagai wujud kearifan lokal masyarakat Jawa.

 Dalam konteks kebersamaan dan kebermasyarakatan orang Jawa, mereka mendambakan keharmonisan hidup, kedamaian hidup, keharusan, dan hidup yang penuh welas asih. 


Guyup rukun, welas asih, narima ing pandum merupakan konsep hidup bersama bagi orang Jawa dalam menciptakan suasana hidup bersama yang sehat dan saling menjaga keutuhan keluarga, pertemanan, persaudaraan, atau dalam konteks apapun. 


Konsep itu selalu diidealkan dengan ungkapan yang bermakna menahan diri tidak emosi dan tidak menyebabkan hubungan dengan sesama menjadi tercerai berai. 


Aja dumeh, ngalah luhur wekasane, berbudi bawa laksana, nerima ing pandum, ungkapan-ungkapan ini memiliki makna dasar agar semua orang menurut konsep orang Jawa tidak main menangnya sendiri dalam segala macam urusan. Menurut konsep kearifan lokal Jawa, orang yang berwibawa adalah orang yang tidak nyrekel atau tamak dan sombong atau angkuh (dumeh).

 Tetapi, orang yang santun, sopan, tau etika (tata krama, unggah-ungguh, sopan santun), tahu adap, dan adat istiadat Jawa. Mereka adalah orang yang memiliki budi pekerti dan moralitas, berbudi bawa laksana.


Orang Jawa memiliki karakter baik yang selalu menjadi kontrol diri dalam hidup bersama. Kontrol diri itu menjadi bagian pendidikan karakter bagi anak-anak yang tentunya harus dimulai dari pendidikan dari rumah, kampung halaman, lalu di teruskan di sekolah. Secara utuh pendidikan karakter seyogyanya menjadi pendidikan berbasis budaya.


 Lebih tegasnya pembiasaan-pembiasaan baik anak-anak Jawa bermula dari bagaimana mereka mampu berkomunikasi baik yang responsif terhadap budaya melalui pengajaran dan pembelajaran (cultural responsive teaching).


Perhatikan beberapa contoh ungkapan ini: ora jail, ora cethil, ora dimen. Ungkapan ini merupakan bagian dari karakter orang Jawa yang dibentuk mulai dari kanak-kanak. Mereka tidak boleh nakal, tidak jail, tidak boleh mengganggu teman, tidak boleh mengganggu orang lain. 


Mereka harus peduli sesama, tidak pelit, harus mau berbagi dan berdarma, bahkan tidak dimen atau celimut artinya tidak boleh mencuri atau mengambil milik orang lain, atau mengambil sesuatu yang bukan haknya. 


Oleh karena itu, bisa menerima apa yang dikaruniakan kepadanya sebagai rezeki yang halal yang bisa disyukuri sebagaimana ungkapan narima ing pandum itu penting menjadi bagian dari karakter orang Jawa.


Cinta dalam konsep Jawa sejajar dengan konsep kehormatan atau harga diri yang tidak hanya dipandang dari diri sendiri (narcistis) tetapi juga harus ditinjau dari orang lain (altruist). Bagi orang Jawa cinta tidak hanya dipandang sebagai cinta erotis (eros) tetapi lebih daripada kepedulian yang tinggi dan kemampuan bertanggung jawab, saling memberi, berbakti. Sehingga, ada ungkapan perempuan ngabekti kepada suami, anak ngabekti kepada orang tua dan guru, ksatria ngabekti kepada bangsa dan negara.


Orang Jawa memiliki konsep aji, artinya kehormatan atau sesuatu yang bernilai dan berharga. Ungkapan ajining dhiri saka ing lathi, ajining raga saka ing busana, merupakan bagian dari konsep aji. Artinya, dalam etika Jawa orang harus senantiasa punya rasa hormat dan rasa malu. Kepribadian Jawa diwujudkan dalam konsep ajining diri. 


Kepribadian orang Jawa diaktualisasikan dari bagaimana tata cara orang berkomunikasi, menjaga tutur kata, dan tata cara berpenampilan baik. Oleh karena itu, menjaga lisan (lathi) dan menjaga diri melalui tata cara berpenampilan dan berpakaian (busana) itu sangat penting dan wajib diperhatikan bagi siapapun. 


Orang Jawa yang berkepribadian harus paham situasi dan kondisi dalam mewujudkan kompetensi kultural dan kompetensi komunikatifnya. Kata empan papan merupakan ungkapan yang menunjukkan bahwa strategi berkomunikasi itu harus menjadi bagian dari kompetensi berkomunikasi dan berinteraksi bagi orang Jawa. 

Dalam etika Jawa, orang tidak hanya berkomunikasi dengan cara basa basi (ethok-ethok) tetapi harus tahu mana yang boleh dan mana yang tabu (saru). Kata-kata troco (kata-kata tabu, jorok, umpatan, sarkasme) tidak boleh digunakan sembarangan. 


Dalam berkomunikasi ada strategi langsung dan strategi tidak langsung. Dalam belajar berbahasa apa pun kompetensi gramatikal dan kompetensi aktsional harus dimiliki dan teraktualisasikan dalam bertutur kata. Begitu juga dalam berkomunikasi bagi orang-orang Jawa yang berpendidikan, utamanya kalangan priyayi ungkapan asah asih asuh harus dimiliki dan diaktualisasikan dalam bertutur kata. 


Tak hanya kalangan priyayi orang Jawa harus bisa berkomunikasi (sesambetan) secara baik. Kalangan wong cilik atau masyarakat biasa juga harus mampu berkomunikasi yang baik meskipun aturannya lebih longgar karena mereka lebih banyak berinteraksi di sektor informal (tanresmi). Tetapi dalam berkomunikasi yang santun bagi siapa pun haruslah tetap mampu menjaga muka atau menjaga wajah, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.


Orang Jawa yang menjalankan komunikasi dengan benar dan santun harus paham unggah-ungguh basa dan paramasastra. Mereka pantang marah dan pantang mencela atau menampar muka orang lain sebagai mitra berkomunikasi. Maka dalam berkomunikasi orang Jawa harus bisa menjaga diri, ora gampang nesu, ora gampang cugetan, ora crigis, ora mung waton jeplak, omong-saomong ora mung bisa ngablak. Mereka tidak mudah marah, tidak asal berkata secara sembarangan. Berbicara yang baik, yang bermutu, dan memenuhi maksim kerja sama dalam berkomunikasi baik secara kuantitas, kualitas, cara, maupun relevansinya.


Dalam berkomunikasi yang baik, orang Jawa mengintegrasikan diri dalam konsep cinta, perdamaian, dan keharmonisan. Mereka harus mampu njaga ati, njaga rasa artinya menjaga hati dan perasaan. Sebagaimana ungkapan rukun agawe santosa cerah agawe bubrah. Sepadan dengan ungkapan bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Semangat penuh cinta kasih dan merdeka, sesanti: suradira jayaningrat lebur dening pangastuti. Nuwun.


Penulis: Dr. Gatot Sarmidi, M.Pd dosen PBS Indonesia FBS Unikama. 

Postingan Terkait