Cerita 2: "Langkah Raka yang Gemetar"
Raka sebenarnya bukan tipe anak penakut. Tapi sejak kecil, ia selalu menghindari pertunjukan yang berbau mistis. Suara gamelan yang menghentak, gerakan kerasukan, dan aroma kemenyan membuat bulu kuduknya berdiri.
Namun hari itu, teman-temannya memaksanya ikut menonton pertunjukan Bantengan di halaman balai desa. “Katanya kamu pemberani,” ejek Dito. Tak ingin disebut pengecut, Raka ikut.
Baru lima menit pertunjukan dimulai, Raka sudah berkeringat dingin. Pemain Bantengan mulai menggeliat aneh, matanya kosong, tubuhnya gemetar hebat. Tiba-tiba, salah satu penari menyeruduk ke arah penonton.
Raka reflek melompat ke belakang, jantungnya berdetak liar. Apalagi ketika salah satu penonton dewasa mendadak jatuh dan ikut kerasukan. Ia menggeram seperti banteng liar. Panitia bergegas menenangkan, namun suasana jadi mencekam.
Langkah Raka mulai gemetar. Ia ingin pulang, tapi takut diejek. Sampai akhirnya, ia melihat seorang kakek tua menenangkan si penari dengan doa pelan dan lembut. Ajaib, penari itu perlahan tenang.
Setelah pertunjukan usai, Raka duduk terpaku. Meski takut, ada rasa kagum terhadap tradisi yang begitu kuat, penuh energi spiritual, namun tetap dijaga dengan rasa hormat.
Pesan Moral:
Rasa takut bukan tanda kelemahan, tapi jendela awal untuk memahami sesuatu yang belum kita kenal. Keberanian tumbuh bukan dari menghindar, tapi dari belajar menghormati dan memahami nilai di balik tradisi.