2025/11/17

Pahlawan itu Tentang Siapa saya?


Dari artikel dosen blangkon yang say abaca yaitu tentang ‘‘Hari Pahlawan dalam Perspektif Blankonisme’’ terdapat suatu kutipan yang menarik perhatian saya yang menyatakan bahwa, “Pahlawan sejati, kata Blankonisme, adalah ia yang mampu menjaga api perjuangan tetap hidup di dalam kepala yang tertutup, tetapi pikirannya tetap terbuka’’.

Oleh : Vincensia Mediana Kristianingrum, Mahasiswa STIKES Panti Waluya Malang

Kutipan ini menghadirkan pemaknaan kepahlawanan yang jauh lebih reflektif dan mendalam dibandingkan definisi heroik pada umumnya. Ia menekankan bahwa kepahlawanan bukan sekadar tindakan besar di medan perang atau aksi heroik yang terlihat publik, melainkan sebuah kerja batin yang terus menerus dilakukan seseorang. “Kepala yang tertutup” melambangkan kerendahan hati dan kesadaran diri bahwa identitas sejati bukanlah pada penampilan luar, sementara “pikiran yang tetap terbuka” menunjukkan kemampuan seseorang untuk terus belajar, beradaptasi, dan mempertahankan nilai-nilai luhur tanpa terkungkung oleh dogma ataupun ego. Dalam kerangka Blankonisme, pahlawan sejati adalah seseorang yang mampu menundukkan kepalanya bukan karena kalah, tetapi karena ia sadar bahwa perjuangan yang paling besar justru terjadi di dalam dirinya sendiri melalui pengendalian ego, keteguhan moral, dan kemampuan untuk berpikir jernih.

Makna “menjaga api perjuangan tetap hidup” menunjukkan bahwa kepahlawanan adalah proses yang tidak pernah selesai. Api ini adalah simbol dari idealisme, keteguhan prinsip, dan komitmen moral yang harus terus dipelihara bahkan setelah tantangan besar tampak berlalu. Dalam konteks modern, perjuangan tidak lagi selalu berbentuk pertempuran fisik; ia hadir dalam bentuk lain seperti melawan korupsi, ketidakadilan, penyebaran informasi palsu, intoleransi, hingga kemalasan moral. Pahlawan masa kini mungkin adalah guru yang tetap mengajar dengan hati meski fasilitas minim, seorang aktivis yang memperjuangkan ruang aman bagi masyarakat marginal, atau warga biasa yang tetap jujur ketika dunia seakan menormalisasi kecurangan. Semuanya adalah bukti bahwa kepahlawanan kontemporer tidak membutuhkan pangkat, seragam, ataupun sorotan, melainkan kesetiaan pada nilai kebenaran dan keberanian untuk bertindak meski dalam sunyi.

Selain itu, kutipan tersebut juga memuat filosofi penting tentang keseimbangan antara kerendahan hati dan keterbukaan pikiran. Blangkon—yang menjadi simbol “kepala tertutup”—mengajarkan seseorang untuk menjaga kesadaran diri, menahan diri dari kesombongan, dan mengingatkan bahwa manusia selalu memiliki keterbatasan. Namun pada saat yang sama, seseorang dituntut untuk memiliki pikiran terbuka agar tidak terperangkap dalam stagnasi intelektual atau fanatisme yang menghalangi perkembangan. Pahlawan sejati mampu memadukan keduanya: ia rendah hati dalam sikap, tetapi luas dalam pemikiran; ia menundukkan kepalanya, namun gagasan dan keberaniannya tetap meninggi.

Relevansi kutipan ini semakin kuat ketika dikaitkan dengan konteks sosial masa kini. Di tengah dunia yang bising oleh opini, konflik identitas, dan kompetisi, kemampuan untuk menjaga “api dalam kepala” membutuhkan ketenangan batin, kedewasaan, dan refleksi diri. Pahlawan model Blankonisme bukan sosok yang berteriak paling lantang, melainkan yang bekerja dalam diam, mengambil keputusan dengan jernih, serta tetap teguh memegang integritas meski tidak disaksikan siapa pun. Inilah bentuk kepahlawanan yang tidak sekadar merayakan masa lalu, tetapi mendorong perubahan nyata di masa kini.

Pada akhirnya, kutipan tersebut merupakan ajakan untuk melihat kepahlawanan sebagai sesuatu yang dapat dimiliki oleh siapa saja. Kita tidak perlu menjadi pahlawan besar untuk berkontribusi; cukup dengan merawat api perjuangan di dalam diri—entah dalam bentuk kejujuran kecil, kerja keras yang konsisten, keberanian menyuarakan kebenaran, atau kepedulian terhadap sesama. Hari Pahlawan, melalui kacamata Blankonisme, bukan hanya peringatan historis, tetapi refleksi personal: apakah api perjuangan dalam diri kita masih menyala? Apakah kepala kita tetap tertutup dalam kesederhanaan, sementara pikiran kita tetap terbuka dalam kearifan? Jika iya, maka dalam skala kecil maupun besar, kita telah mengambil bagian dalam makna kepahlawanan yang sesungguhnya.

Postingan Terkait

Cari Blog Ini