Ikut Jaga Keseimbangan Batin Sosial
Hukum bisa menciptakan masyarakat yang tertib, tapi hanya 'keseimbangan batin sosial' yang bisa menciptakan masyarakat yang harmonis, sehat secara emosional, dan benar-benar manusiawi. Menjadi warga negara sejati berarti beralih dari sekadar kewajiban (taat hukum) menjadi kontribusi aktif (menjaga batin sosial).
Oleh Gregorian F. A. Marung, mahasiswa STIKES PANTI WALUYO MALANG
Pernyataan "Menjadi warga” bukan sekadar tunduk pada hukum, melainkan ikut menjaga keseimbangan batin sosial" adalah sebuah pengingat agung akan hakikat kita sebagai manusia yang hidup bersama. Ini adalah panggilan untuk melampaui definisi legalitas yang kaku dan menyentuh esensi terdalam dari sebuah komunitas: jiwanya.
Hukum adalah kerangka. Ia adalah tulang-belulang yang menegakkan struktur masyarakat, memberikan batasan yang jelas antara benar dan salah secara prosedural.
Ketaatan pada hukum—membayar pajak, tidak mencuri, mengikuti rambu lalu lintas—adalah fondasi minimum. Itu adalah tindakan yang lahir dari kewajiban, terkadang dari rasa takut akan sanksi. Sebuah masyarakat yang warganya hanya patuh hukum mungkin teratur, tapi ia bisa jadi dingin, robotik, dan hampa. Ia adalah rumah yang kokoh, namun tak berpenghuni.
Di sinilah "keseimbangan batin sosial" mengambil peran.
Ini adalah darah yang mengalir dalam nadi komunitas. Ia adalah ruh yang memberi kehangatan pada rumah tadi. Keseimbangan batin sosial bukanlah sesuatu yang bisa ditulis dalam undang-undang atau dipaksakan oleh aparat. Ia adalah tenunan halus yang dirajut dari jutaan tindakan tak kasat mata setiap hari.
Menjaga keseimbangan batin sosial berarti mempraktikkan empati. Itu adalah kemampuan untuk berhenti sejenak dan bertanya, "Apa yang dirasakan tetangga saya?" sebelum kita memutar musik terlalu keras. Itu adalah kemauan untuk mendengarkan pandangan politik yang berbeda dengan tulus, bahkan ketika kita tidak setuju, demi mencari titik temu, bukan mencari musuh.
Menjaga keseimbangan batin sosial berarti memelihara tenggang rasa dan saling menghormati. Hukum mungkin mengizinkan kita untuk mengatakan apa saja, tetapi batin sosial meminta kita untuk memikirkan dampaknya. Hukum melindungi hak kita untuk acuh tak acuh, tetapi batin sosial mengundang kita untuk peduli—untuk membantu lansia menyeberang jalan, untuk memberi tempat duduk di transportasi umum, untuk gotong royong saat ada yang tertimpa musibah.
Ketika kita hanya fokus pada hukum, kita menjadi masyarakat yang saling menuntut hak. Ketika kita menjaga batin sosial, kita menjadi peradaban yang saling berlomba memberi kebaikan.
Hukum mengatur transaksi antarwarga, sementara batin sosial merawat relasi antarmanusia. Hukum bersifat eksternal dan memaksa; batin sosial bersifat internal dan mengundang. Hukum menjaga ketertiban fisik; batin sosial menjaga kesehatan jiwa kolektif.
Maka, menjadi warga negara sejati bukanlah tentang seberapa baik kita menghafal pasal-pasal, tetapi seberapa besar kita berkontribusi pada keharmonisan. Ini adalah tentang menjadi penyejuk ketika situasi memanas, menjadi jembatan ketika ada yang terpisah, dan menjadi penjaga agar suara-suara sumbang kebencian tidak merusak simfoni kehidupan bersama.
Pada akhirnya, warga yang hanya taat hukum adalah penghuni. Tetapi warga yang turut menjaga keseimbangan batin sosial adalah pemilik—mereka yang merasa memiliki, yang mencintai, dan yang bertanggung jawab atas denyut jantung komunitasnya.

