Gen Z Siapkan Soft Skill Pemimpin
Pengalaman yang paling mendalam dari Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah (LKTM) adalah kesadaran bahwa “Seorang pemimpin sejati tidak hanya modal omongan semata, tetapi adalah ia yang berani tinggal langsung, terjun langsung, merasakan penderitaan orang yang terkena sistem tidak adil.”
Oleh : Agustina Suciyanti Amoi, Mahasiswa Perwakilan STIKes Panti Waluya Malang
Kalimat ini merangkum seluruh esensi dari pelatihan intensif yang telah saya ikuti, membedakan antara kepemimpinan teoritis yang didiskusikan di ruang-ruang rapat ber-AC dengan kepemimpinan nyata yang berlumur debu perjuangan.
Kutipan tersebut memberikan pesan tegas mengenai hakikat kepemimpinan di Indonesia yang sesungguhnya. Selama hampir dua tahun, saya berkesempatan mengikuti pelatihan kepemimpinan secara daring bersama teman-teman sebangsa dari berbagai Universitas di seluruh Indonesia, bahkan seorang mahasiswa dari Timor Leste.
Pelatihan daring tersebut membangun fondasi kognitif dan strategi yang kuat. Namun, puncak dari proses panjang ini adalah inisiasi luring selama kurang lebih dua minggu, berpusat di Yogyakarta, meskipun saya sendiri tinggal di Klaten. Inilah saatnya konsep-konsep matang diuji oleh realitas. Pemimpin yang hanya bermodal omongan adalah pemimpin yang terpaku pada narasi dan janji-janji tanpa pernah memverifikasi dampaknya secara langsung, sebuah fenomena yang berbahaya dalam demokrasi yang matang.
Dalam konteks pelatihan ini, saya beruntung mendapatkan materi langsung dari para pemateri hebat Indonesia, termasuk pemimpin atas seperti Ketua Organisasi Dunia (yang identitasnya harus dirahasiakan) dan juga kesempatan diskusi forum bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Dapil 1. Diskusi ini tidak hanya membahas masalah-masalah lokal, tetapi juga masalah-masalah dunia dan secara khusus Indonesia.
Pertemuan ini menunjukkan pentingnya pemimpin untuk memiliki perspektif makro dan kemampuan analisis global, yang menjadi nilai pertama yang dapat dipelajari, “Kebijaksanaan Global dan Strategi”. Seorang pemimpin harus mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang, mulai dari tingkat paling tinggi hingga ke akar rumput, agar setiap keputusan yang diambil memiliki landasan yang kuat dan terukur.
Namun, nilai yang paling fundamental dan menggetarkan hati adalah “Empati dan Keberanian Aksi”. Berbanding terbalik dengan diskusi formal di ruang parlemen, kami diajak untuk belajar bagaimana berinteraksi langsung dengan masyarakat, baik dari kelas menengah maupun kelas bawah.
Kami merasakan bagaimana kerasnya hidup bagi orang-orang pinggiran dan melihat secara langsung dampak buruk dari sistem pemerintahan yang kurang adil di Indonesia. Melihat penderitaan masyarakat yang terpinggirkan memunculkan kesedihan mendalam dan menumbuhkan tekad untuk tidak menjadi pemimpin yang acuh.
Kami diajarkan bahwa kepemimpinan sejati menuntut keberanian untuk menanggalkan zona nyaman, berani tinggal langsung, dan merasakan penderitaan mereka yang terdampak oleh ketidakadilan. Ini adalah panggilan untuk menegakkan martabat manusia, tidak hanya melalui kebijakan, tetapi melalui kehadiran yang otentik.
Nilai penting lain yang kami pelajari berkaitan dengan integritas di era digital, yaitu Literasi Informasi dan Integritas Digital. Kami mendapatkan materi berharga mengenai cara melacak data orang-orang yang melakukan perundungan di media sosial. Selain itu, kami juga dikenalkan oleh seorang Jurnalis terkenal nomor 1 Indonesia, mengenai pengecekan berita hoaks dan berita real.
Hal ini menuntut seorang pemimpin tidak hanya peka terhadap penderitaan fisik, tetapi juga penderitaan psikologis dan manipulasi informasi yang marak terjadi di kalangan anak muda. Seorang pemimpin harus menjadi garda terdepan dalam memastikan kebenaran dan melindungi warganya dari fitnah digital.
Dapat disimpulkan, Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah ini tidak hanya meluluskan agen perubahan, tetapi juga menempa kami untuk menjadi pemimpin dengan spektrum kepedulian yang luas. Kami dipersiapkan untuk menjadi pemimpin yang menguasai strategi global dan integritas digital, namun di saat yang sama memiliki kerendahan hati untuk menundukkan kepala dan berani berkorban waktu dan kenyamanan demi rakyat yang dipimpin.
Meskipun banyak kisah pribadi dan detail kegiatan yang tidak dapat dibagikan karena bersifat rahasia dan menjaga privasi kegiatan, pelajaran intinya sangat jelas: kepemimpinan sejati diukur dari seberapa dalam kita berani merasakan penderitaan yang kita perjuangkan. Ini adalah komitmen untuk terus berjuang melawan ego dan ketidakpedulian, demi tegaknya keadilan dan martabat kemanusiaan di tanah air.



