2025/11/21

Filsafat Nusantara : agar bebasnya tidak melukai sesama


Ungkapan Engelbertus Kukuh Widijatmoko, “Filsafat Barat mengajarkan manusia berpikir bebas, sementara Filsafat Nusantara mengajarkan manusia menundukkan kepala agar bebasnya tidak melukai sesama,” memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana kebebasan seharusnya dijalankan dalam konteks kehidupan bersama. Dalam kerangka menjaga kepala tetap menunduk ketika dunia semakin tinggi, gagasan ini menunjukkan bahwa kebebasan berpikir bukan hanya soal pelepasan diri dari batasan, tetapi juga kemampuan untuk mengendalikan diri agar kebebasan itu tidak melahirkan kesombongan, pertentangan, atau luka sosial. Menundukkan kepala bukanlah tanda ketertinggalan, melainkan bentuk kearifan untuk tetap membumi, tetap beradab, dan tetap menghormati sesama ketika dunia melalui kemajuan ilmu, teknologi, dan modernitas menuntut manusia untuk semakin meninggi.


Oleh : Natalia Agatha Togo, mahasiswa STIKes Panti Waluya Malang 


Dalam kondisi ideal, kebebasan dan kerendahan hati berjalan berdampingan: manusia berpikir dengan nalar yang luas, tetapi melangkah dengan hati yang teduh. Filsafat Nusantara menawarkan keseimbangan ini bahwa tinggi ilmu harus diimbangi dengan rendah hati; tinggi pencapaian harus disertai kesadaran diri; dan tinggi kebebasan harus ditopang oleh etika. Namun kondisi riil hari ini memperlihatkan jurang yang lebar dari cita-cita tersebut. Kebebasan sering dimaknai sebagai ruang untuk berbicara tanpa batas, berpendapat tanpa etika, bahkan merendahkan tanpa rasa. Media sosial menjadi cermin bagaimana “kebebasan” berubah menjadi ajang saling menjatuhkan, pamer intelektual, dan kehilangan penghormatan terhadap martabat sesama.


Jurang pembeda antara kondisi ideal dan kondisi riil ini muncul dari erosi nilai-nilai Nusantara seperti keselarasan, andhap asor, dan tepa selira yang seharusnya menjadi penopang kebebasan. Banyak orang semakin tinggi secara pengetahuan, tetapi rendah secara kebijaksanaan; tinggi dalam berpikir, namun dangkal dalam rasa. Di sinilah ajakan Engelbertus menjadi relevan: bahwa manusia Indonesia perlu mengembalikan makna “menundukkan kepala” sebagai kesadaran moral, bukan sebagai sikap pasrah. Menunduk adalah bentuk penghormatan terhadap manusia lain, sekaligus cara untuk memastikan bahwa kemajuan tidak membuat kita kehilangan arah.


Oleh karena itu, saya mengajak kita semua untuk memaknai kembali kebebasan dalam ruh kearifan lokal. Berpikirlah setinggi langit, tetapi berjalanlah serendah tanah. Gunakanlah ilmu bukan untuk meninggikan diri, tetapi untuk menguatkan kemanusiaan. Dalam dunia yang semakin meninggi, mari belajar menjaga kepala tetap menunduk bukan karena kita kecil, tetapi karena kita memahami bahwa kebesaran sejati lahir dari kerendahan hati, kebijaksanaan, dan rasa hormat kepada sesama.

Postingan Terkait

Cari Blog Ini