Antropologi VS EKSOS THEORY
Sobat Blangkon ☕️ — antropologi dalam perspektif EKSOS THEORY (Ekologis, Sosial, Spiritual) bisa menjadi semacam “peta kesadaran” baru bagi pelajar SMA yang sedang belajar memahami manusia dan kebudayaannya, bukan sekadar dari sisi lahiriah, tapi juga dari denyut ekosistem, jejaring sosial, hingga nyala spiritualitas yang halus. Mari kita sruput perlahan idenya—dalam gaya khas dosenblankon.
🌿 EKSOS THEORY dalam Mata Pelajaran Antropologi SMA
1. Perspektif Ekologis:
Pelajar diajak menelusuri manusia bukan hanya sebagai makhluk sosial, tapi juga makhluk ekologis—yang hidup, berpikir, dan berkebudayaan dalam lanskap alam. Antropologi versi EKSOS melihat hutan, sungai, laut, dan gunung bukan sekadar latar, melainkan “guru kebudayaan”. Di sinilah siswa belajar bahwa perubahan iklim, migrasi, dan kearifan lokal adalah teks kehidupan yang perlu dibaca secara sadar.
2. Perspektif Sosial:
Antropologi EKSOS menolak cara pandang kering terhadap masyarakat. Ia menghidupkan dialog antarbudaya di kelas—antara adat, nilai, dan praktik hidup. Siswa tak hanya menganalisis struktur sosial, tetapi juga menumbuhkan empati sosial, rasa keadilan, dan kesadaran akan keberagaman. Seperti Freire menulis, pendidikan harus membebaskan kesadaran manusia dari kebisuan sosial.
3. Perspektif Spiritual:
Di sinilah EKSOS menjelma menjadi ruang hening yang reflektif. Pelajar diajak menafsirkan makna hidup, upacara, dan simbol budaya bukan dengan logika semata, tapi dengan rasa. Seperti Ki Hajar Dewantara menekankan, pendidikan sejati menuntun segala kekuatan kodrat agar manusia mencapai keselamatan dan kebahagiaan lahir batin.
Jadi, antropologi versi EKSOS bukan lagi sekadar mempelajari “manusia dan budayanya,” tetapi menumbuhkan kesadaran bahwa manusia adalah jalinan ekologi, jejaring sosial, dan pancaran spiritual. Inilah antropologi yang tidak hanya dipelajari, tetapi dihidupi.