2025/05/08

KESEMPURNAAN HIDUP BAGI ORANG JAWA

Tak sedikit orang mendambakan kehidupan mulia, bahagia, sejahtera, adil dan makmur seperti dalam cita-cita urip tata tentrem, loh tulus, karta raharja. 

Konsep semacam itu tak ubahnya konsep kasampuraning urip atau kesempurnaan hidup, dan lebih daripada konsep sela (batu permata termasuk akik), kukila (burung atau binatang peliharaan), turangga (kuda atau reta kendaraan), dan wanita (stri, perempuan, atau istri cantik dan sholehah).

Oleh : Gatot Sarmidi

Bagi orang Jawa, hidup sempurna merupakan konsep yang selalu menjadi pertanyaan dasar dalam laku dan perilaku. Dua hal menjadi perpaduan cara mendapatkan jawaban, yakni secara filosofis dan spiritual. Tapi, juga sangat memungkinkan menjadi kajian ilmiah berdasarkan disiplin keilmuan yang relevan.


Dalam studi kearifan lokal Jawa, ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa menjadi kunci dalam memberikan jawaban atas konsep filosofis dan spiritualitas Jawa. Ungkapan seperti ngudi kasampurnan. 


Secara holistik, ungkapan ngudi kasampurnan mencerminkan potensi individu dalam arti pengembangan diri orang Jawa. Tentu, karena pengembangan diri tidak mungkin terjadi secara tiba-tiba, pengembangan diri perlu proses. Kemudian, proses tersebut didasarkan pada kesadaran, niatan diri yang kuat, dan intensitas dalam mewujudkan eksistensi melalui pendidikan yang manusiawi.


Bagi orang Jawa,konsep ngudi kasampurnan tersebut menjadi pertanyaan yang wigati. Sebuah pertanyaan bertemali dengan entitas hidup dan identitas suku Jawa yang kadang mengalami pergeseran cara pandang bagaimana orientasi generasi ke generasi terkait dengan pengembangan diri dalam arti hidup sebagai manusia. Sebagaimana konsep manusia dan kemanusiaan. Orang Jawa menyebut kamanungsan.


Artifisial Inteligensi (AI), industrialisasi, sains dan teknologi canggih. Kemajuan itu senyatanya menjadi paradoks yang pada akhirnya menjauhkan dari makna kasampurnaning urip. Bahwa hidup tak hanya bertumpu secara material tetapi juga secara spiritual, psikologis, dan sosiologis.


Krisis Kepemimpinan


Hampir tak ada mitos, kepemimpinan selalu dilandasi oleh ideologi tertentu. Tapi, kepercayaan itu tak lagi menjadi kekuatan spiritual. Betapa labilnya 

nilai-nilai kepemimpinan. Sebagian orang Jawa sadar. Ada yang tidak bisa diikuti dari kekuatan global akibat globalisasi dan pasar bebas. Pemertahanan budaya sudah semestinya dilakukan. Orang Jawa sadar akan identitas.


Sisi baik membangun karakter dengan berlandaskan kearifan lokal. Etos dan kerja keras dalam budaya Jawa seharusnya menjadi landasan kepemimpinan yang handal. Seperti halnya konsep Ki Hajar Dewantara seorang tokoh pendidikan, ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wari handayani bukan konsep yang sekadar hafalan. Landasan itu memang harus diugemi oleh setiap pemimpin. 


Filosofi pendidikan berbasis kearifan lokal Jawa memberikan kunci akan kekuatan setiap insan menjadi pemimpin yang arif bijaksana. Bukan seperti kenyataan kehidupan bangsa yang dalam kenyataannya melesat secara bersistem jauh dari filosofi pendidikan yang sudah ditanamkan jauh waktu sebelumnya.


Nilai Luhur Leluhur


Pada prinsipnya, orang Jawa memiliki paham Jawa. Masyarakat Jawa mengedepankan nilai-nilai luhur yang menyatu dalam budaya dan tradisi. Nilai-nilai luhur itu sudah ada sejak lama. Seperti beberapa prinsip dasar dari filosofi berikut ini. Orang Jawa ngudi Kasampurnan (Mencari kesempurnaan). Sebuah konsep nilai pendidikan dalam budaya Jawa bertujuan untuk mengembangkan potensi individu baik dari aspek intelektual, emosional, maupun spiritual.


Masyarakat Jawa hidup rukun, harmonis, guyup, bergotong Royong, dan saling asah asih asuh satu dan yang lain. Mereka saling menghormati dan saling menghargai sebagaimana menjaga

harmonisasi hidup bersama, kebersamaan, dan kerjasama dalam sesambetan hidup bebrayan sami.


Nilai-nilai luhur masyarakat Jawa disosialisasikan dan ditanamkan serta diupayakan secara kultural melalui pendidikan baik formal maupun informal. Pemertahanan budaya dalam hal ini merupakan strategi budaya. Termasuk di dalamnya, pembangunan ramah lingkungan budaya. Pembangunan pemberdayaan alam dan responsif terhadap sumber daya manusia, seyogyanya memiliki landasan yang kokoh atas dasar kebudayaan yang sudah handal dari segi uji peradaban.


Pendidikan moral, kemasyarakatan, kesantunan, etika, dan unggah-ungguh. Etika Jawa mengajarkan pentingnya kerja sama dan saling menghargai antar sesama. Etika Jawa menciptakan komunitas yang harmonis. Kesantunan merupakan hal baik, dan menjadi keunggulan manusia berkuatas tinggi yang semestinya dikukuhkan, dan bukan sebaliknya tindak tanduk kasar, penuh kecurangan, dan tak manusiawi yang malah ditunjukkan.


Kasampuraning Urip, Sangkan Paraning Dumadi, dan Pendidikan Budi Pekerti


Orang Jawa mengandalkan hidup sempurna sebagai kunci kebahagiaan bersama. Harmonisasi dan filosofi Jawa mengajarkan manunggaling kawula Gusti.


Seperti luku, bentuk luku pegangan yang mengarah ke atas sebagai simbol spiritual dan digunakan untuk mengolah tanah atau menancap ke bumi dengan ditarik lurus ke depan sebagai laku, ikhtiyar yang terkendali. Luku sebuah artefak atau piranti petani yang digunakan untuk membajak sawah. Luku atau brujul melambangkan konsep Sangkan Paraning Dumadi. Ungkapan bernada religius memiliki makna ‘arah menuju asal usul kehidupan’. Konsep kuno semacam ini penting ditransformasikan sebagai upaya mengajarkan generasi muda agar mereka mengenal dan memahami warisan budaya serta sejarah sebagai bagian dari identitas diri.


Selanjutnya, generasi muda atau sebagai generasi penerus yang pada zamannya sudah berteknologi canggih. Mereka masih perlu menerapkan pendidikan Budi Pekerti agar mereka memiliki soft skill yang dilandasi akhlakul karimah dan moral.


Pasa dasarnya, pendidikan menekankan pada pengembangan karakter, etika, dan moral yang baik sebagai landasan perilaku. Juga tak kalah penting dalam kepedulian alam dan kearifan lingkungan, perhatikan ikon atau simbul kayon atau gunungan dalam pewayangan. 


Pendidikan berbasis kearifan lokal sebagaimana konsep mamayuhayunebawana, pendidikan juga mencakup pemahaman dan pelestarian lingkungan. Sekarang sangat relevan dengan sekolah-sekolah adiwiyata. Setiap peserta didik diajarkan menghargai alam sebagai sumber kehidupan.


Dengan mengintegrasikan nilai-nilai luhur Jawa, pendidikan berbasis kearifan lokal Jawa dapat menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan berwawasan lingkungan.


Penulis. Dr. Gatot Sarmidi, M.Pd, dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Universitas Kanjuruhan Malang



Postingan Terkait