2025/04/24

SANG TABUT PERJANJIAN BARU

Jika kita melihat dan memahami tradisi kekristenan dengan cukup baik, maka kita akan menemukan banyak tradisi Katolik yang didasarkan pada tradisi Yahudi. 


Oleh : Eugene Mario Widiatmoko, Katekese Keuskupan Bandung

Kita ambil contoh tahun 2025, dimana pada tahun ini Gereja Katolik menetapkan sebagai Tahun Yubileum, dimana selama setahun penuh, Allah melalui Gerejanya mencurahkan rahmat pengampunan dan Indulgensi penuh kepada seluruh umatNya. 

Apabila kita mencari tahu lebih dalam, maka kita akan mengetahui bahwa tradisi Tahun Yubileum berakar dari tradisi bangsa Israel kuno, dimana mereka mempercayai pada tahun tersebut adalah tahun pendamaian antara mereka dengan Allah yang berlangsung selang beberapa tahun sekali. 


Kemudian kita mungkin pernah mendengar gelar-gelar Tuhan Yesus. Yesus memiliki banyak gelar, misal yang cukup seing kita dengan gelarNya sebagai Guru, Mesias, Anak Domba dan lain sebagainya. Pemberian gelar-gelar tersebut juga tidak lepas dari tradisi bangsa Israel. 

Mungkin para pembaca bertanya-tanya, mengapa saya mengawali dengan penjelasan tersebut dan mungkin muncul pertanyaan, apa maksud dari judul di atas? Atau bahkan ada yang lebih jeli bertanya siapakan yang dimaksud dengan “Sang Tabut Perjanjian Baru”?. Judul diatas merupakan gelar yang diberikan secara sangat istimewa, kepada pribadi yang sangat tepat diberikan gelar tersebut. 

Apabila dalam kisah bangsa Israel di Perjanjian Lama, kita sering mendengar mengenai tabut perjanjian. Dimana dalam tabut tersebut berisi 3 benda, yakni 10 firman yang tertulis dalam 2 loh batu, kemudian roti “mana” dan tongkat Harun, dan jika kita membaca dengan cermat kisah Perjanjian Lama, bahwa Tabut Perjanjian sangatlah berkuasa, bahkan bangsa Israel dan kitapun meyakini bahwa Allah berdiam dalam tabut tersebut. 

Maka, dalam Perjanjian Baru, kita juga memiliki sosok pribadi yang sangat cocok menyandang gelar sebagai Sang Tabut Perjanjian Baru. Tokoh tersebut ialah Bunda Maria.

Mengapa gelar tersebut diberikan kepada Bunda Maria, sebab Maria mengandung Yesus Kristus (yang adalah Firman Allah, sepadan dengan 10 firman Allah dalam loh batu), Yesus Kristus juga adalam seorang imam, menurut aturan Melkisedek (sepadan dengan tongkat Harun sebagai simbol sebagai seorang Imam) dan Yesus juga merupakan “Roti Hidup” (sepan dengan roti mana).

 Maka, berdasarkan kesamaan-kesamaan tersebut, banyak penafsir dan teolog-teolog meyakini bahwa Bunda Maria sangat layak menyandang gelar sebagai “Sang Tabut Perjanjian Baru”. 

Karena keistimewaan tersebut, maka sudah sangat pantas apabila kita sangat menghormati Bunda Maria karena keistimewaan yang dimiliki olehnya. Meski demikian, bukan berarti Gereja menyetarakan antara Allah Tritunggal dengan Bunda Maria. Dalam tradisi dikenal kata Latria, Hyper Dulia dan Dulia. 

Latria adalah kata yang merujuk pada penyembahan kita HANYA kepada Allah Tritunggal Mahakudus, sedangkan Hyperdulia merujuk pada penghormatan Tertinggi yang kita berikan kepada Bunda Maria, sedangkan untuk orang-orang Kudus, tradisi menggunakan kata Dulia (penghormatan kepada orang-orang Kudus). 

Semoga dengan kata-kata yang berdasar dari tradisi tadi, kita menjadi lebih mengerti dan lebih jelas mengapa dalam Gereja Katolik Bunda Maria diberikan Penghormatan Tertinggi dan penghormatan tertinggi tersebut tidak sama dengan penyembahan yang hanya kita tujukan kepada Allah Tritunggal Mahakudus. 

Dan harapan lainnya, semoga dengan penjelasan singkat ini, kita menjadi lebih tertarik untuk mendalami tradisi-tradisi Gereja Katolik yang sangat mendalam, sehingga dapat meneguhkan iman kita akan Allah dan tradisi-tradisi Gereja.

Postingan Terkait