2025/04/27

Cerita Pendek : Nafas Banteng dari Sukarahayu

Di Dusun Sukarahayu, suara kenong dan kendang jadi penanda senja. Itulah waktunya latihan bantengan. Di tanah lapang belakang balai RW, Kang Suko penggiat bantengan Malangan, memimpin latihan dengan wajah serius, tapi penuh cinta.


“Langkahmu jangan ragu-ragu ya Ro!” serunya. “Banteng itu kuat, tapi juga punya jiwa!”


Anak-anak muda berkeringat dalam balutan topeng banteng. Kostum hitam merah, mata menyala, ekor melambai. Gaya mereka menggabungkan gerak silat dan tarian leluhur. Di balik topeng itu, ada semangat untuk menjaga warisan leluhurnya.


Kang Suko mewarisi seni ini dari bapaknya, seorang dalang banteng zaman dulu. Kini, di tengah gempuran dunia digital, ia bertekad menjaga napas budaya itu tetap hidup.


Tapi perjuangan ini tak ringan. Dana minim, dan terkadang latihan dianggap mengganggu. Ada juga yang mencibir, “Buat apa mainan banteng terus? Berisik, dan nggak bikin kenyang!”


Namun Kang Suko tak gentar. Ia kumpulkan anak-anak yang ada di dusunnya. Ia mengajari mereka bukan hanya gerak, melainkan juga makna yang terkandung di dalamnya. “Bantengan bukan tontonan kosong. Ini jati diri kita, Malangan!.”


Satu malam, saat Festival Budaya Kota digelar, kelompok Bantengan Sukarahayu pun turut ambil bagian dalam pertunjukan. Diiringi gendhing Jaranan, banteng-banteng melompat gagah, menari, menghentak tanah. Penonton bersorak, bahkan wali kota berdiri memberi hormat.


Di balik panggung, Kang Suko menatap anak didiknya. Matanya basah.


“Lihat, Nak,” katanya pada Roro, putri kecilnya, “banteng dari dusun kecil kita bisa bersuara. Asal kita jaga nafasnya, jangan sampai padam.”


Roro mengangguk. Suatu hari nanti, ia ingin jadi penari banteng juga. Bukan demi panggung, tapi demi cinta pada tanah yang membesarkannya. (Yy)

Postingan Terkait